Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia merupakan satu-satunya negara di regional Asia Tenggara yang tak kunjung meratifikasi Asean Framework Agreement on Services (AFAS), yang merupakan jalur masuk bagi bank untuk melakukan ekspansi bisnis hingga ke negara tetangga.
Dengan melakukan ratifikasi, peluang bank-bank Indonesia untuk melakukan ekspansi ke negara jiran seperti Malaysia dan Singapura bisa lebih terbuka. Artinya, tidak hanya bank dari negara lain saja yang bisa masuk ke Indonesia, tetapi juga sebaliknya. Protokol tersebut menyaratkan bank yang ingin berekspansi ke luar negeri harus memenuhi standar Qualified Asean Bank (QAB).
Beberapa bank nasional memiliki kapasitas untuk masuk kategori QAB, khususnya bank yang tergabung dalam kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) IV yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk. PT Bank Negara Indonesia Tbk. dan PT Bank Central Asia Tbk. Namun, sikap bank-bank raksasa tersebut terpecah perihal rencana ekspansi ke luar negeri. Ada yang 'ngebet', tapi ada pula yang enggan berekspansi dan memilih memperkuat posisinya di dalam negeri. Lantas sebenarnya seberapa perlu bank-bank Indonesia melebarkan sayap ke luar negeri?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, jika ratifikasi AFAS dilakukan oleh pemerintah, pihak yang diuntungkan justru adalah bank asing. Pasalnya, potensi pasar di Indonesia masih amat besar. Di sisi lain, pasar di negara seperti Malaysia, Singapura dan Thailand sudah jenuh.
Dia membeberkan data perbandingan jumlah penduduk dewasa yang punya rekening di negara-negara tersebut dan Indonesia. Penduduk Malaysia yang punya rekening sebesar 81% dari total penduduk, Thailand 78% dan Singapura 96%. Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia yang memiliki rekening perbankan baru mencapai 36% dari total penduduk.
"Kalau Indonesia ratifikasi AFAS justru bank asing akan serbu pasar di dalam negeri. Sementara bank lokal tidak bisa bersaing di Singapura dan Malaysia. Lebih baik pemerintah pertimbangkan kembali ratifikasi AFAS ini," katanya kepada Bisnis, Minggu (18/3).
Hal senada juga diungkapkan oleh Presiden Direktur Bank BCA Jahja Setiaatmadja baru-baru ini. Dia mengatakan, Bank BCA tak punya niat untuk berekspansi ke luar negeri sekalipun secara kapasitas mereka memenuhi syarat.
Bank BCA bahkan sudah berkali-kali diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjadi QAB sebagai jalur masuk untuk dapat melakukan ekspansi bisnis di wilayah Asia Tenggara. Akan tetapi, bank swasta terbesar di Indonesia tersebut menolak.
Bank BCA memilih untuk beraliansi dengan bank luar ketimbang berupaya menjadi pemain di luar Indonesia. Mereka punya jaringan aliansi dengan sejumlah negara seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan Malaysia.
Untuk diketahui, di level Asean, Bank BCA hanya kalah dari DBS Bank asal Singapura dari sisi kapitalisasi pasar. Bank milik Grup Djarum ini bahkan pernah mengkudeta DBS dari posisi pertama dua tahun silam.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Marsuki mengatakan, ratifikasi AFAS seharusnya dapat memberi nilai tambah bagi strategi perbankan nasional yang kesulitan masuk pasar negara lain, bahkan sekadar di negara Asean. Namun, dia menyayangkan jika ratifikasi tersebut justru membuka peluang bank-bank asing menyerbu Indonesia. Apalagi sebelum ratifikasi tersebut pun bank asing sudah cukup dominan di Indonesia.
"Sedangkan kita, belum ada satupun bank milik nasional yang disebut bank di negara manapun juga di dunia, selain hanya sebagai kantor kas saja," tuturnya.
AGRESIF
Berbeda dengan Bank BCA, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. justru terang-terangan mengaku ingin menjadi pemain utama di kancah regional.
SEVP Treasury and Global Services BRI Hexana Tri Sasongko mengatakan, pihaknya berencana mengajukan diri sebagai QAB. "Ya, kami punya rencana ke sana," ungkapnya belum lama ini.
Namun demikian, Hexana menegaskan bahwa ekspansi ke luar negeri harus memperhatikan visibiltas pasar dan skala ekonomi di negara tujuan. Menurutnya, membuka cabang luar negeri merupakan perkara mudah, tetapi perlu dipertimbangkan keberlanjutannya.
Selain itu, meskipun nantinya sudah menyandang status sebagai QAB, tak serta merta bisa langsung beroperasi di negara luar. Sebab, bank asing juga harus mengikuti regulasi lokal. Di Asean, BRI sudah memiliki kantor luar negeri di Singapura dan Timor Leste.
Sementara itu, bank pelat merah lainnya yakni PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. berencana menambah jumlah cabang luar negeri seiring dengan rencana ratifikasi AFAS. Direktur Bank BNI Panji Irawan mengatakan, ratifikasi tersebut sesuai dengan keinginan pelaku pasar. Pasalnya, bank asal Indonesia akan bisa mendapat akses yang setara dengan bank lokal di luar negeri.
"Dengan ratifikasi ini diharapkan dapat perlakuan yang sama. Buka cabang lagi [luar negeri] salah satu yang dibicarakan tapi saya belum bisa sebut di mana," katanya.
Saat ini BNI memiliki 6 kantor cabang di luar negeri yakni dua kantor di Hong Kong, London, New York, Singapura, Tokyo dan satu kantor fungsional di Osaka.
Sejauh ini, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok rencana ratifikasi protokol AFAS menjadi undang-undang. Panitia Kerja untuk ratifikasi tersebut pun sudah dibentuk.
Sebagai informasi, ada dua poin baru di dalam protokol keenam AFAS, yakni kerangka integrasi perbankan Asean (Asean Banking Integration Framewrok/ABIF) serta dipilihnya kota Makasar sebagai opsi lokasi kantor cabang bank-bank dari negara anggota ASEAN.
Sebelum Makasar, bank-bank asal Asia Tenggara sebelumnya diperkenankan membuka cabang di Jakarta, Bandung, Surabaya, Manado, Padang, dan Ambon.
QAB merupakan bagian dari protokol keenam Asean Framework Agreement on Services (AFAS). Bank QAB dari masing-masing negara akan diperlakukan sama dengan bank domestik dalam hal operasional.
Syarat QAB adalah dikelola dengan baik (well managed), memiliki cukup banyak modal (well capitalized), mendapatkan rekomendasi dari otoritas (recommended by authorities), lulus ketentuan Basel, dan merupakan bank yang dinilai penting di negara asalnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel