Rp5 Miliar dari Korupsi KTP Elektronik untuk Rapimnas Golkar

Bisnis.com,22 Mar 2018, 14:22 WIB
Penulis: MG Noviarizal Fernandez
Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (kiri) mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (19/3). Sidang mantan ketua DPR itu beragenda mendengarkan keterangan saksi. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Kabar24.com, JAKARTA - Adanya aliran dana korupsi proyek KTP elektronik ke Partai Golkar terbukti setelah Setya Novanto (Setnov) mengembalikan uang Rp5 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam sidang lanjutan korupsi pengadaan KTP elektronik dengan terdakwa Setya Novanto, Kamis (22/3/2018), terungkap bahwa mantan Ketua DPR dari Partai Golkar itu telah menyerahkan uang Rp5 miliar kepada KPK.

Menurutnya, uang tersebut pernah digunakan oleh keponakannya Irvanto Hendra Pambudi, yang saat ini juga berstatus tersangka korupsi KTP elektronik, untuk membiayai Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar. Uang itu diperkirakan berkaitan erat dengan proyek KTP elektronik.

“Apapun itu, Irvanto adalah keluarga saya, dan diyakini uang itu ada kaitannya dengan masalah KTP elektronik, sehingga saya kembalikan uang itu,” ujar Setya Novanto di hadapan majelis hakim.

Menurutnya, saat rapimnas, Irvanto merupakan anggota panitia sekaligus salah seorang wakil bendahara partai. Novanto mengaku tidak ingin dana haram tersebut menyentuh partai, sehingga dia rela mengembalikan uang tersebut kepada KPK.

Dalam persidangan ini dia juga menyebut bahwa Pramono Anung dan Puan Maharani menerima aliran dana masing-masing sebesar US$500.000. Dengan pengakuan ini, secara keseluruhan ada beberapa politisi PDIP yang diduga turut menerima aliran dana korupsi yakni Olly Dondokambey, saat ini Gubernur Sulawesi Utara, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, Puan, serta Pramono yang saat ini menjadi anggota kabinet.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan bahwa fakta persidangan itu harus ditindaklanjuti oleh KPK dengan melakukan pemeriksaan terhadap Puan Maharani dan Pramono Anung.

“Kalau tidak memeriksa keduanya, KPK akan dianggap tebang pilih karena mereka berasal dari partai yang berkuasa,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Nancy Junita
Terkini