Bisnis.com, JAKARTA - Syariah kini mulai dikenal luas. Tak hanya makanan, konsep syariah juga mulai diimplementasikan ke industri perbankan, properti, fesyen hingga gaya hidup. Fenomena ini menunjukkan bahwa kehidupan yang kini serba modern tidak serta merta menenggelamkan nilai-nilai Islami. Gaya hidup halal saat ini telah menjadi tren, semakin dicari dan membuat kehidupan orang-orang modern tidak mati gaya.
Di sisi lain, konsep halal ini juga telah menjadi perbincangan umum seantero dunia. Banyak negara yang mulai melirik, dan bahkan serius dengan konsep halal. Ini tak berlebihan mengingat potensinya yang begitu besar. Secara global, total industri halal mencapai US$3,84 triliun pada tahun 2015 dan diperkirakan mencapai US$6,38 triliun pada 2021. Industri halal ini meliputi food & beverage, kosmetik dan obat-obatan, travel, fesyen serta media dan hiburan.
Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya Indonesia masih harus lebih serius jika tidak ingin disebut sebagai negara yang masih tertinggal dengan konsep industri halal ini. Apalagi Indonesia dikenal sebagai negara dengan warga muslim terbesar, karena itu sudah seharusnya Indonesia tak boleh berpuas diri dengan hanya menjadi pasar global dan konsumen.
Fakta ini diperlihatkan pada hasil penelitian Thomson Reuters pada tahun 2015. Penelitian yang fokus pada peringkat negara terbesar pengeluaran untuk produk halal (expenditure rank) dan peringkat negara terbesar penyedia produk halal (player rank), ingin menunjukkan bahwa Indonesia memiliki expenditure rank tinggi, selalu masuk 10 besar. Namun, sayangnya, negara muslim terbesar ini ternyata masih tergolong negara dengan player rank yang rendah.
Masih dari data tersebut, misalnya, industri makanan-minuman halal, Indonesia menempati expenditure rank peringkat pertama. Namun, dari sisi player rank, peringkat Indonesia tidak masuk 10 besar. Ini menunjukkan bahwa pasar Indonesia sangat besar namun tidak diimbangi dengan produsen domestik yang besar juga, termasuk merek-merek lokal yang belum berkiprah banyak mengisi pasar domestik.
Belum lagi penetrasi konsep ekonomi syariah yang saat ini mulai menyeruak–meski masih sangat lambat—di tengah perekonomian nasional yang didominasi sistem ekonomi konvensional. Bahkan Bank Indonesia (BI) mengakui bahwa masih ada sekitar 90 persen masyarakat yang belum paham betul terkait dengan potensi ekonomi dan keuangan syariah.
Padahal konsep ekonomi syariah ini diyakini akan mampu meminimalisir ancaman VUCA (Vulnerability, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity) yang saat ini tengah melanda perekonomian dunia. Hal ini tak lepas dari ciri khas keuangan syariah yang membedakannya dengan keuangan konvensional. Ekonomi syariah itu bukan hanya sekedar urusan halal haram saja, namun juga halal dan thayyib.
Di sisi lain, langkah cepat telah dilakukan BI dengan lebih mendorong instrumen-instrumen baru sebagai underlying transaksi, khususnya untuk transaksi repo (repurchase agreement) dimana selama ini lebih banyak memanfaatkan SIMA (Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank) sebagai underlying transaksi. Tentu saja, Bank Indonesia dan OJK harus menyiapkan infrastruktur untuk penetrasi pasar yang lebih baik terutama dalam hal penambahan pelaku, frekuensi, volume dan instrumen.
Industri perbankan nasional pun mulai mengadopsi konsep perbankan syariah. Tak hanya perbankan swasta, bank-bank di lingkungan BUMN juga mulai melirik keuangan syariah ini. Mereka beramai-ramai membuat produk keuangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Produk-produk syariah ini kini bisa kita jumpai di BRISyariah seperti KPR Faedah, Tabungan Impian juga disertai dengan fasilitasi MOBILE BRIS, SMS BRIS, Internet Banking BRIS dan CMS BRIS, serta berbagai produk pembiayaan lainnya baik untuk segmen mikro, retail maupun komersial. Keseriusan bank ini mengusung konsep ekonomi syariah juga diimplementasikan melalui lantai bursa yang rencananya akan direalisasikan pada Semester I Tahun 2018. Target dana segar yang digunakan untuk melakukan ekspansi menjadi prioritas berikutnya dalam pengembangan usaha.
Meski demikian, Indonesia masih memerlukan program kongkrit untuk melakukan penerapan Ekonomi Syariah. Pasalnya, ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang memastikan setiap anggotanya terlibat dalam kegiatannya dan memastikan pergerakan ekonominya mengalir lancar. Fakta inilah yang membuat industri keuangan syariah memiliki potensi besar untuk lebih kompetitif dibandingkan industri keuangan konvensional.
Kondisi ini tentu akan sangat ironis jika Indonesia yang diprediksi akan menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kelima atau ketujuh pada tahun 2030 dimana tingkat expenditure ranknya tertinggi di dunia karena daya belinya, tapi ternyata tak satu pun produsen produk halal Indonesia yang menjadi pemain global. Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius bagi pemerintah, penggiat dan pelaku ekonomi Syariah.(**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel