Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis Indonesia Award 2018 menetapkan 13 emiten terbaik dari 88 nominee di 13 bidang usaha. Berikut rinciannya.
Pertanian: PT BISI International Tbk.
Produsen benih PT BISI International Tbk. berdiri sejak 1983 dengam visi menjadi perusahaan produsen benih yang turut mendukung ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.
Sekian bertambahnya usia, emiten berkode saham BISI ini kian giat berinovasi untuk memproduksi benih berkualitas. Pada 2017, BISI membukukan penjualan bersih sebesar Rp2,3 triliun atau meningkat 24,73% dibandingkan dengan capaian pada 2016.
Program pemerintah untuk segera swasembada komoditas pangan utama pun kian menggeliatkan bisnis BISI. Di sisi profitabilitas, laba tahun berjalan yang dicatatkan perseroan juga meningkat 19,94% menjadi Rp403,28 miliar pada 2017.
Pada tahun sebelumnya, laba tahun berjalan yang berhasil dicatatkan BISI mencapai Rp336,22 miliar. Perusahaan yang fasilitas produksinya berada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur tersebut tidak hanya menjajaki pasar domestik, namun konsisten mengekspor benih produksinya.
Meski porsinya masih sekitar 10%, benih hortikultura BISI telah mampu menembus China, India, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Saat ini, BISI menguasai 50% pasar benih jagung nasional, dengan kapasitas produksi sebesar 70.000—80.000 ton per tahun. Perseroan berkomitmen meningkatkan efisiensi untuk meningkatkan produktivitas benih yang dipasarkan.
Baca juga: Inilah Daftar Nominee Bisnis Indonesia Award 2018
Multifinance: PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk.
WOM Finance berdiri pada 1982 dengan nama Jakarta Tokyo Leasing. Perseroan kemudian berubah nama menjadi Wahana Ottomitra Multiartha pada 2000. Kemudian, sejalan dengan rencana bisnis perusahaan, WOM Finance melakukan penawaran perdana saham atau initial public offering (IPO) pada Desember 2014.
Sepanjang kuartal I/2018, anak usaha PT Bank Maybank Indonesia ini membukukan pertumbuhan laba bersih hingga 98% menjadi Rp55 miliar, dari total laba bersih kuartal I/2017 senilai Rp28 miliar. Realisasi itu ditopang oleh kinerja penyaluran pembiayaan yang mencapai Rp1,8 triliun atau meningkat sebesar 53% dari kuartal pertama tahun sebelumnya.
Perdagangan, Jasa & Investasi: PT Mitra Adiperkasa Tbk.
Kekuatan sinergi menjadi tema yang dipilih PT Mitra Adiperkasa Tbk. dalam laporan keuangan 2017. Perusahaan peritel itu didirikan pada 1995 dan mengawali bisnis di Indonesia dengan memperdagangkan produk-produk olah raga, fesyen, dan gaya hidup.
Pada 2001, emiten berkode saham MAPI ini melebarkan sayap bisnis dengan merambah bisnis makanan & minuman dengan menjadi pengelola dan pemegang lisensi gerai Starbucks Coffee di Indonesia.
Setahun sebelum melantai di BEI, MAPI masuk ke bisnis department stores pada 2003. Berawal dengan 40 gerai ritel pada 1995, MAPI telah berkembang dan mengelola 2.167 toko hingga akhir 2017. Perkembangan MAPI sejalan dengan kekuatan 110 merek produk ritel yang ditawarkan kepada konsumen.
Infrastruktur, Utilitas, & Transportasi: PT Bukaka Teknik Utama Tbk.
PT Bukaka Teknik Utama Tbk. berdiri pada 1978. Perusahaan yang dimulai dengan bisnis perbengkelan motor tersebut kini menjadi perusahaan yang patut diperhitungkan pada lini bisnis engineering, procurement, and construction.
Melantai di Bursa Efek Indonesia pada 1990 dengan kode saham BUKK, Bukaka mulai memperlebar sayapnya pada proyek-proyek energi nasional. Saat relisting di BEI pada 2015, perseroan telah memiliki portofolio di sektor infrastruktur, utilitas, transportasi, dan konstruksi.
Pada 2017, Bukaka membukukan lonjakan pendapatan sebesar 52,98% menjadi Rp2,45 triliun.
Laba bersih perseroan pun melesat 179,83% menjadi Rp180,57 miliar pada tahun lalu. Tahun ini, BUKK kian ekspansif untuk memperluas bisnisnya.
Pada 2018, perseroan mengalokasikan belanja modal Rp200 miliar yang akan digunakan untuk penambahan mesin baru dan pengembangan pabrik.
Dengan investasi tersebut, BUKK menargetkan pendapatan kontrak baru 2018 naik 100% menjadi Rp7 triliun.
Bank Asing & Campuran: Bank of America Merill Lych
Kantor cabang Jakarta mencatatkan perolehan laba senilai Rp32,7 miliar per maret 2018, naik 114% secara year on year dari Rp15,3 miliar.
Kenaikan tersebut sejalan dengan peningkatan penyaluran kredit sebesar 104% (yoy) dari Rp2,09 triliun pada Maret 2017 menjadi menjadi Rp4,28 triliun pada Maret 2018. Pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII) yang diperoleh senilai Rp54,11 miliar.
Kinerja positif tersebut turut mendongkrak peningkatan aset sebesar 41,5% dari Rp6,24 triliun pada Maret 2017 menjadi Rp8,83 pada Maret 2018. Ekuitas pun turut tumbuh 104% secara tahunan menjadi Rp243 miliar.
Total dana hak ketiga (DPK) yang dimiliki kantor cabang bank asing tersebut pada kuartal I/2018 tercatat senilai Rp2,59 triliun, yang didominasi oleh giro dan deposito.
DPK tumbuh tipis sebesar 3%, tetapi deposito tumbuh signifikan sebesar 114% menjadi Rp531 miliar. Pada tahun 2018, strategi bank yang berkantor pusat di Charlotte, Amerika Serikat, tersebut akan tetap fokus pada pertumbuhan portofolio Global Multi Nasional Corporation dan klien lembaga keuangan yang beroperasi di Indonesia, dan juga korporasi lokal unggulan.
Hal ini akan dicapai dengan lebih meningkatkan relasi dengan klien target sejalan dengan dibentuknya tim corporate banking pada 2016 sehingga memberikan pilihan yang lebih luas dari produk dan jasa yang ada untuk klien mereka.
Kantor cabang Bank of America Merrill Lynch di Jakarta mulai beroperasi sebagai bank umum sejak tanggal 25 Juni 1968.
Industri Dasar dan Kimia: PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.
Anak usaha PT Barito Pacific Tbk. ini dibentuk pada 1992. Lebih dari 25 tahun berdiri, Chandra Asri Petrochemical merupakan produsen petrokimia terintegrasi dan merupakan satu-satunya perusahaan yang mengoperasikan naphta cracker di Indonesia.
Pada 2017, Chandra Asri membukukan laba bersih US$319,15 juta atau meningkat 6,3% dibandingkan dengan 2016. Capaian laba bersih tersebut merupakan rekor kinerja finansial perseroan, yang disumbangkan oleh volume produksi tinggi sekaligus margin yang sehat.
Chandra Asri akan merampungkan pengembangan kapasitas pabrik butadiene sebesar 37.000 ton dan pabrik karet SSBR hasil joint venture dengan Michelin, serta merampungkan studi kelayaan untuk pembangunan Chandra Asri Petrochemical II atau CAP II, kompleks petrokimia seluas 200 hektare di Cilegon.
Tidak tanggung-tanggung, kebutuhan investasi pembangunan CAP II diproyeksi mencapai US$5 miliar.
Aneka Industri: PT Sri Rejeki Isman Tbk.
H.M. Lukminto merintis PT Sri Rejeki Isman Tbk. pada 1966 sebagai sebuah perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer Solo. Lantas, pada 1968, perusahaan mendirikan perusahaan printing yang memproduksi fabrics di Solo, Jawa Tengah.
Seiring berjalannya waktu, perseroan terus berkembang dan berhasil memasarkan produknya ke lebih dari 100 negara.
Perusahaan yang kerap disebut dengan nama Sritex ini juga dikenal sebagai penyuplai seragam militer ke 30 negara dan NATO. Dalam 3 tahun terakhir, penjualan emiten berkode saham SRIL ini terus meningkat. Hingga pada 2017, perseroan membukukan pertumbuhan penjualan 12% year-on-year menjadi US$759,35 juta.
Sejalan dengan pertumbuhan penjualan, laba tahun berjalan SRIL pun konsisten menebal.
Industri Barang dan Konsumsi: PT Unilever Indonesia Tbk.
PT Unilever Indonesia Tbk. merupakan salah satu perseroan terdepan untuk kategori fast moving consumer goods (FMCG) di Tanah Air.
Unilever Indonesia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sektor barang konsumsi di Indonesia selama 84 tahun. Perseroan pertama kali didirikan pada 5 Desember 1933 dengan nama Lever's Zeepfabrieken N.V. dan resmi berganti nama menjadi Unilever Indonesia pada 1980.
Dua tahun setelah berganti nama, Unilever Indonesia mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia pada Januari 1982. Saat ini, emiten berkode saham UNVR ini memiliki sembilan pabrik, memiliki 42 merek unggulan, dan kurang lebih 1.000 SKU produk.
Dalam 5 tahun terakhir, penjualan bersih UNVR terus meningkat hingga mencapai Rp41,2 triliun pada 2017.
Properti & Real Estate: PT Acset Indonusa Tbk.
Berdiri pada 1995, PT Acset Indonusa Tbk. melantai di Bursa Efek Indonesia sejak 24 Juni 2013. Perseroan resmi bergabung ke dalam Grup Astra setelah sebagian sahamnya diakuisisi oleh anak usaha PT United Tractors Tbk.
Pada 2017, Acset Indonusa membukukan kinerja ciamik dengan mengantongi pertumbuhan laba bersih hingga 125,76% secara year on year menjadi Rp154,2 miliar. Pendapatan Acset Indonesia meningkat 68,7% yoy dari Rp1,79 triliun pada 2016 menjadi Rp3,02 triliun pada 2017.
Pada 2018, perseroan membidik nilai kontrak baru sebesar Rp10 triliun pada tahun ini. Acset Indonusa juga terus mendorong safety dan kualitas pekerjaannya sebagai elemen kunci diferensiasi perusahaan untuk mencapai visi pada 2020 menjadi The Largest Private Construction Company di Indonesia.
Bank Persero: PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Cikal bakal PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. dimulai dengan berdirinya Postspaarbank di Batavia pada 1897. Setelah mengalami perubahan nama dan bentuk perusahaan, entitas tersebut resmi menjadi Bank Tabungan Negara pada 1963.
Dalam 5 tahun terakhir, BTN mampu mencatatkan rata-rata pertumbuhan kredit (compound annual growth rate/CAGR) sebesar 18,63%.
Bank yang bisnis utamanya bergerak di pembiayaan perumahan tersebut hingga akhir Maret 2018 berhasil mencatatkan laba bersih senilai Rp684 miliar, tumbuh 15,13% secara tahunan dari Rp594 miliar.
Pertumbuhan laba didorong oleh pertumbuhan kredit yang pada kuartal I/2018 mencapai Rp202,5 triliun, tumbuh 19,34% secara tahunan dari Rp169,68 triliun.
Kredit perumahan mendominasi 91,09% dari total kredit yang disalurkan. Secara nilai, penyaluran kredit perumahan BTN sepanjang kuartal I/2018 mencapai Rp184,46 triliun, naik 20,32% secara tahunan dari Rp153,31 triliun.
Dengan penyaluran tersebut, BTN tercatat menguasai pasar KPR di Indonesia dengan pangsa sebesar 36,3%. Di segmen KPR bersubsidi, BTN menjadi pemimpin pasar dengan pangsa mencapai sebesar 95,42%.
Bank Swasta Devisa: PT Bank Central Asia Tbk.
PT Bank Central Asia Tbk. didirikan pada 21 Februari 1957 oleh Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dengan nama Bank Sentral Asia NV dan berkantor pusat di Jakarta. Dalam beberapa dekade saat awal dirintis, BCA harus mengalami jatuh bangun.
Namun berkat perbaikan kinerja dan inovasi perseroan, kinerja bank tersebut terus melesat. Terlebih lagi, saat ini BCA berada di tangan Djarum Group, keluarga Robert Budi Hartono. Bank tersebut kini berada di peringkat pertama kelompok bank swasta nasional, dan peringkat ketiga secara aset.
Sepanjang 2017 BCA mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 13,1% secara year on year menjadi Rp23,3 triliun. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh peningkatan penyaluran kredit yang mencapai 12,4% (yoy) menjadi Rp468 triliun.
Kualitas kredit pun terjaga dengan indikator non-performing loan sebesar 1,5%. Pendanaan turut mengalami peningkatan dengan jumlah dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp581,1 triliun atau tumbuh 9,6% (yoy). Kenaikan kredit dan DPK itu mendorong pertumbuhan aset menjadi Rp750 triliun. BCA juga mempertahankan posisi likuiditas dan permodalan yang sehat.
Rasio kredit terhadap pendanaan tercatat 78,2% dan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) 23,1%. Peningkatan kinerja tersebut memungkinkan perseroan untuk membagikan dividen kepada para pemegang saham senilai Rp6,29 triliun atau 27% dari laba tahun lalu.
Bank Pembangunan Daerah: PT BPD Sulawesi Utara Gorontalo (Bank Sulutgo)
PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara Gorontalo (Bank Sulutgo) didirikan pada 1961 dengan nama PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara.
Pada 2015, bank tersebut berganti nama menjadi PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara Gorontalo. Pada kuartal I/2018, penyaluran kredit Bank Sulutgo mencapai Rp11,08 triliun, meningkat 21% dibandingkan dengan capaian pada kuartal I/2017 senilai Rp9,15 triliun. Peningkatan kredit terjadi di segmen UMKM maupun sektor non-UMKM.
Peningkatan penyaluran kredit mengerek fungsi intermediasi bank, yang tercermin dari loan to deposit ratio (LDR) yang meningkat. Pada kuartal I/2018, LDR Bank Sulutgo mencapai 80,20%, lebih tinggi dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun lalu 77,50%. Tahun ini perseroan menargetkan rasio LDR bisa menembus 90%.
Dari sisi kualitas kredit, bank yang 24,90% sahamnya dimiliki oleh PT Mega Corpora tersebut mencatatkan perbaikan. Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) net pada kuartal I/2018 mengalami penurunan dari 0,60% menjadi 0,52%.
Total aset Bank Sulutgo hingga akhir Maret 2018 mencapai Rp15,61 triliun, meningkat 16,32% secara tahunan.
Bank Swasta Non Devisa: PT Bank Fama International
PT Bank Fama International (Bank Fama) didirikan pada 5 Maret 1993 dan mulai beroperasi sejak 1 November 1993. Pada 2018, pada usianya yang ke-25, bank umum yang berkedudukan dan berpusat di Bandung, Jawa Barat itu telah memiliki beberapa jaringan kantor secara online di Kota Bandung, Jakarta, dan Tangerang.
Bank Fama menjadi salah satu bank yang tetap berdiri kokoh melewati beberapa periode krisis dan terus tumbuh tanpa bantuan pemerintah. Perseroan memfokuskan pelayanan pada kebutuhan nasabah retail, khususnya usaha kecil dan menengah.
Bank BUKU I dengan modal inti Rp250,79 miliar itu berusaha tumbuh sehat dengan berpegangan pada prinsip kehati-hatian, sejalan dengan visinya menjadi ‘bank ritel yang tumbuh dengan kokoh, sehat dan terpercaya’. Sepanjang 2017, perseroan mencetak laba bersih Rp19,99 miliar dan aset sebesar Rp1,15 triliun.
Jumlah kredit dan pembiayaan yang disalurkan mencapai Rp802,11 miliar dengan rasio aset bermasalah (nonperforming loan/NPL) gross di level 3,69%. Perseroan juga menjaga efisiensi yang tercermin dari ras io biaya operasional terhadap pendapatan operasional di level 84,43%.
Perseroan juga masih memiliki modal yang kuat untuk mendukung ekspansi pertumbuhan pada 2018. Hal itu antara lain tampak dari rasio kecukupan permodalan (Capital Adequacy Ratio/CAR) Bank Fama yang meningkat menjadi 27,75% per akhir 2017.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel