POTRET SOSIAL Radikalisasi dan Politisasi Agama di Media Sosial, Bagaimana Bersikap?

Bisnis.com,22 Mei 2018, 08:15 WIB
Penulis: Farida Trisnaningtyas
Media sosial./Istimewa

Bisnis.com, SURAKARTA—Fenomena media sosial di Tanah Air memiliki dinamika cenderung liar, di dalamnya orang bebas berekspresi, menebar kebaikan sekaligus kebencian.

Ada juga kampanye kedamaian berhadapan dengan ujaran pemicu perpecahan. Bahkan, di media sosial juga berseliweran unggahan berbau politik kekuasaan berbungkus agama. Semua itu perlu disikapi dengan bijak oleh semua warga net.

Kepala Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Yayah Khisbiyah, menyebut penggunaan media sosial seperti Facebook tak bisa dibatasi. Dari media inilah hal-hal yang berbau ujaran kebencian, kebohongan menyebar tak terbendung.

Bahkan, dalam penelitian yang dilakukan PSBPS berjudul Radikalisme di Website dan Media Sosial pada 2017 lalu menyebut motivasi pengguna medsos memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pesan-pesan radikal adalah: (1) ingin menjadikan akun media sosialnya sebagai media untuk mengkritisi pemerintah; (2) ingin menjadikan akun media radikalisme di media sosial sebagai media untuk menghentikan hoaks atau berita yang belum tentu kebenarannya; (3) ingin menjadikan akun media sosialnya sebagai media dakwah.

Di antara bidang-bidang yang menjadi perhatian pengguna media sosial yang perlu mendapatkan kritik meliputi bidang: (1) politik, (2) hukum, (3) ekonomi, (4) sosial, (5) kesehatan, dan (6) pendidikan.

“Lewat Medsos itu bisa langsung membidik sasaran yang diinginkan. Banyak pula di dalamnya ada tujuan politis yang dibungkus dengan agama sehingga masyarakat sangat mudah terpancing. Chat di Medsos itu licin dan menghilangkan kesan personal karena para penggunanya tidak bertatap muka sehingga tak tahu emosi serta gesture tubuhnya. Pada akhirnya mereka hanya mengandalkan mental shortcut sehingga mudah menghakimi,” ujar dosen Fakultas Psikologi UMS ini, saat ditemui Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI), Senin (21/5/2018).

Di sisi lain, pesan-pesan radikal diproduksi dan didistribusikan oleh pengguna media sosial dengan identitas nama samaran dan nama kelompok atau organisasi. Sebagian besar pengguna Medsos ini tidak memberikan informasi yang lengkap dalam identitas akunnya.

Dari 437 akun media sosial ketiga platform yang diteliti, yakni Facebook, Instagram, dan Twitter, sebanyak 111 (25,40%) akun secara eksplisit menyebutkan jenis kelaminnya, sebanyak 157 (35.32%) menyebutkan tempat tinggal mereka, sebanyak 48 (11%) menyebutkan tingkat pendidikan mereka, dan sebanyak 0% yang menyebutkan sumber belajar mereka.

“Solusinya adalah perlunya etiket dan edukasi untuk warganet. Dalam hal ini edukasi untuk menggunakan dunia maya secara bijak mesti ditanamkan sejak dini di bangku sekolah. Di samping itu, ajak mereka dialog dan merangkul berbagai kelompok agar mereka yang punya penafsiran radikal ekstrimis bisa kembali. Cara terakhir, jika sudah membahayakan barulah dilakukan pendekatan hukum,” paparnya.

Peneliti PSBPS, Agus Triyono, menambahkan dari penelitian tersebut media anti mainstream justru lebih populer. Padahal dalam artikel maupun berita yang disampaikan kerap kali berasal dari sumber tak jelas serta banyak mengandung ujaran kebencian.

“Sebenarnya ini menjadi pekerjaan rumah yang besar. Akan tetapi, penangannya tidak bisa dengan cara kekerasan. Ajak mereka berdialog karena hal yang berhubungan dengan ideologis itu tak bisa ditekan dan dipaksa. Ini menjadi tanggung jawab bersama, tidak hanya Pemerintah, tapi juga para akademisi, dan agamawan,” tuturnya.

Sementara itu, Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga melakukan penelitian untuk memetakan literatur keislaman generasi milenial. Penelitian ini menyasar siswa SMA, SMK, MA, dan mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta di sebanyak 16 kabupaten/kota yang melibatkan 280 informan.
Sebanyak 16 wilayah itu adalah Medan, Padang, Pekanbaru, Bogor, Bandung, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Denpasar, Mataram, Ambon, Makassar, Palu, Banjarmasin, dan Pontianak.

“Penelitian ini berangkat dari kerentanan kaum muda Indonesia, khususnya pelajar dan mahasiswa, terhadap radikalisme, ekstremisme, dan terorisme berkait erat dengan kegamangan mereka menghadapi problem-problem struktural dan ketidakpastian masa depan. Di samping itu, majunya teknologi komunikasi dengan adanya internet kian mempengaruhi keadaan,” tutur peneliti Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Munirul Ikhwan.

Menurutnya, dampak paling nyata dari perubahan ini tentu saja dirasakan oleh generasi milenial. Lahir dalam rentang 25 tahun terakhir, mereka tumbuh dan besar dalam dominasi budaya digital yang erat bersinggungan dengan penyebaran pola konsumsi dan gaya hidup instan.

Dalam situasi ini generasi milenial juga dihadapkan langsung dengan masifnya pengaruh ideologi Islamis yang datang menawarkan harapan dan mimpi tentang perubahan.

Maka dari itu, kondisi ini mendorong anak muda Muslim untuk membentengi diri dengan mengeksplorasi lebih jauh literatur-literatur keislaman. Dalam penelitian itu pun mengerucut pada adanya 5 corak literatur Islamis yang beredar di kalangan anak muda, yaitu literatur Jihadi, Tahriri, Salafi, Tarbawi, dan Islamisme populer.

Di sisi lain, banyak cara yang dilakukan siswa dan mahasiswa untuk mendapatkan literatur-literatur keislaman di luar bangku sekolah dan kuliah. Mereka memerolehnya dari toko buku, pameran buku, kegiatan Rohis atau Lembaga Dakwah Kampus (LDK), pengajian dan bedah buku.

“Di antara lima corak literatur ini, Islamisme populer yang paling banyak diminati. Literatur ini menawarkan inspirasi menjadi Muslim yang mampu berkompetisi di tren masa kini. Pada umumnya genre literatur ini adalah cerita fiksi petualangan Muslim taat ke luar negeri, terutama negeri yang dianggap maju dalam sains, teknologi, ekonomi, dan politik, namun dihuni oleh banyak warga non-Muslim,” paparnya.

Sedangkan literatur Jihadi tergolong yang paling sedikit diakses oleh generasi muda milenial. Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan minat terhadap literatur ini. Antara lain, adanya program deradikalisasi pemerintah, dan aktivis Jihadi menghadapi dilema sosial, politik dan ekonomi dalam mengemban ideologinya.

“Adanya hubungan yang paralel antara pertumbuhan produksi literatur keislaman di sebuah kota dengan perkembangan gerakan Islamisme di kota tersebut. Solo menjadi kota yang paling banyak melahirkan penerbit yang aktif memproduksi literatur Islamisme dan jihadisme di Indonesia kemudian diikuti oleh Yogyakarta,” katanya.

Menurutnya, hasil temuan dari penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah, para pemangku kepentingan dan masyarakat luas, terutama terkait isu pemuda dan literasi keagamaan Islam.

“Di samping itu, perlu adanya penekanan lebih pada pendidikan karakter sebagaimana pada Kurikulum 2013. Dalam hal ini semestinya Pemerintah perlu meninjau ulang untuk menyediakan literatur yang memadai,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Miftahul Ulum
Terkini