Indef: Pemerintah Jangan Sekadar Efisiensi Belanja

Bisnis.com,03 Jun 2018, 16:29 WIB
Penulis: M. Richard
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati (tengah) berbincang dengan Peneliti Ahmad Heri Firdaus (kiri) dan Peneliti Rizal Taufikurahman usai media briefing di Jakarta. Rabu (21/3/2018)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berharap pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara dampak belanja pemerintah dan efesiensi belanja.

Sebagai informasi, pemerintah berjanji akan melakukan efesiensi belanja barang pada 2019, karena porsinya dianggap terlalu besar. Sebagai gantinya pemerintah akan lebih meningkatkan belanja modal, karena dianggap dapat memperbaiki neraca keuangan pemerintah.

"Efisiensi boleh saja, bahkan bagus sekali, hanya saja jangan sampai pukul rata, karena banyak juga industri yang nergantung pada belanja pemerintah tersebut," kata Direktur Indef Enny Sri Hartati kepada Bisnis, Minggu (3/6/2018).

Enny menyebut ketika menghadapi porsi belanja yang kurang proposional, pemerintah secara reaktif akan melakukan revisi belanja, tetapi keadaan yang sering terjadi adalah penurunan atau efesiensi tersebut dilakukan dengan perhitungan dampak ekonomi yang kurang matang.

Sebagai contoh, pemerintah pernah memotong aggaran bagi aparatur untuk melakukan rapat di luar gedung pemerintah.

"Hal tersebut terlihat bagus, tetapi rupanya industri perhotelan malah terseok-seok, karena sangat tergantung dengan belanja untuk rapat pemerintah, kan jadi kontra produktif," katanya.

Mengenai belanja modal sendiri, yang porsinya selalu lebih kecil, Enny mengatakan, hal tersebut juga membuktikan bahwa stimulus belanja pemerintah pusat untuk pertumbuhan ekonomi kurang optimal.

"Bahkan sepanjang tahun 2018, porsi belanja modal dari belanja pemerintah secara keseluruhan hanya 5,6%," katanya.

Sekadar informasi, realisasi belanja pemerintah pusat hingga April 2018 yang mencapai Rp331,01 triliun, porsi belanja modal hanya 5,6%, sedangkan belanja barang sudah mencapai 17,93%, dan belanja pegawai 30,72%.

Bahkan, di sisi lain, porsi belanja barang dan pegawai yang besar menandakan utang yang ditarik selama ini tidak ditransmisikan secara penuh pada belanja yang memiliki multiplier effect tinggi, yaitu belanja modal.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Nancy Junita
Terkini