Bisnis.com, MAKASSAR - Pemerintah Indonesia menyatakan fintech berbasis syariah dapat menjadi katalisator untuk mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah. Tak hanya di Tanah Air, hal tersebut juga tengah mendengung di seluruh bagian dunia.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan kontribusi pangsa pasar syariah kepada total perekonomian di Indonesia masih mengecewakan yakni rata-rata 5%.
Dia menyebutkan pasar syariah masih didominasi oleh saham sebesar 52,% dan sukuk 17%. Adapun sisanya, perbankan, reksadana, takaful, dan lembaga pembiayaan masih sekitar 5% - 7,5%.
“Jadi, pasar ini masih rendah jika dibandingkan dengan konvensional di tengah besarnya populasi muslim yang besar di negara ini. Padahal investasi berbasis syariah akan menarik investor dan dapat membiayai pembangunan nasional seperti infrastruktur dan pendidikan,” ujarnya dalam acara The 3rd Annual Islamic Finance Conference di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Rabu (4/7/2018).
Untuk itu, lanjutnya, terobosan berupa pemanfaatan teknologi digital menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Menurut Mardiasmo, fintech menawarkan kenyamanan dan harga yang lebih baik.
Bagaimana tidak, dengan adanya perusahaan teknologi finansial, perusahaan tidak lagi perlu membangun banyaknya kantor cabang yang membutuhkan investasi yang besar.
Namun, salah satu tantangan yang sampai saat ini belum terpecahkan adalah masih rendahnya edukasi masyarakat tentang produk syariah. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan 2016, literasi keuangan syariah di Indonesia masih sekitar 8,11%.
“Perlu adanya pendalaman pemahaman terkait produk syariah dan juga untuk fintech. Adapun untuk pemainnya juga harus patuh terhadap ketentuan syariah,” katanya.
Selain itu, dia mengakui perkembangan fintech juga membawa risiko, seperti keamanan data konsumen dan fraud. Oleh karena itu, dia mendorong agar regulasi terkait dengan fintech harus bisa mengimbangi perkembangan industri fintech.
Berdasarkan Global Islamic Finance Report yang dilakukan oleh Islamic Research and Training Institute (IRTI), industri keuangan syariah diprediksi bakal tumbuh mencapai US$3 triliun - US$4,57 triliun pada 2020. Yang mengejutkan, persebaran tersebut sudah mencapai ke negara seperti Rusia, Mozambik, Korea Selatan, hingga Suriname yang notabene muslimnya minoritas.
Director General IRTI Islamic Development Bank (IsDB) Humayon A. Dar mengatakan tugas pembangunan ekonomi keuangan syariah tidak lagi hanya dibebani kepada perbankan. Untuk itu, diperlukan pemain baru.
Saat ini, kesenjangan finansial untuk mendukung sustainable development goals (SDG) diprediksi masih mencapai US$2,5 triliun per tahun. Untuk itu, negara-negara diharapkan dapat lebih proaktif, cepat, dan adaptif.
“Fintech membawa kesempatan dan tantangan bagi industri keuangan. Di satu sisi fintech memang memberikan dampak kekhawatiran dari segi kegagalan teknologi, pengurangan tenaga kerja, gap kebijakan, dan perlindungan konsumen,” tuturnya.
Namun, dengan kebijakan yang terkoordinasi, lanjutnya, fintech dapat menjadi salah satu solusi untuk iklim keuangan syariah yang lebih efisien dan stabil. Yang perlu menjadi perhatian adalah fintech harus bisa taat kepada kebijakan syariah di negaranya.
Berdasarkan survei yang dilakukan McKinsey Global Institute 2016, fintech berpotensi dapat meningkatkan volume pinjaman bagi pelaku usaha dan individual mencapai lebih dari US$2,1 triliun yang diikuti dengan penghematan bujet pemerintah sebesar US$4,2 triliun.
Bahkan, PDB negara berkembang dapat meningkat hingga US$3,7 triliun atau tumbuh sebesar 6% pada 2025 dengan berkembangnya industri fintech. “Bagaimanapun, dampak aplikasi keuangan digital sangat beragam. Adapun di Indonesia, diprediksi akan tumbuh US$150 miliar atau sekitar 10% dari PDB pada 2025,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel