Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah dinilai perlu merealisasikan penaikan iuran guna mengatasi problem mismatch atau defisit dana jaminan sosial (DJS) pada program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai problem mismatch pengelolaan DJS itu dapat ditelisik dari dua perspektif. Pertama, jelasnya, dari sisi struktural, yakni terkait dengan keharusan pemerintah untuk menaikkan besaran iuran.
Langkah penyesuaian iuran itu merupakan Perpres no. 111/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. Regulasi itu menyatakan bahwa iuran peserta ditinjau paling lama 2 tahun sekali.
Namun, peningkatan penerimaan iuran, jelas Timboel, selama ini semata-mata bersandar pada peningkatan peserta dan penyesuaian upah minimum, khususnya untuk segmen peserta penerima upah atau PPU.
“Ini bukan soal BPJS Kesehatannya, tetapi soal kemauan pemerintah. Revisi sudah dilakukan pada 2016, seharusnya ada revisi pada tahun ini,” ungkapnya kepada Bisnis pada Rabu (4/7/2018).
Kedua, sambung Timboel, kendala selisih terkait dengan manajerial BPJS Kesehatan.
Menurutnya, terdapat sejumlah problem mendasar yang dihadapi BPJS Kesehatan untuk optimalisasi penerimaan iuran dan efisiensi biaya, yakni peningkatan PPU, rendahnya kolektibiltas atau masih adanya piutang iuran yang signifikan, dan pengawasan terhadap penyalahgunaan layanan atau fraud, seperti upcoding dan readmission.
“Bayangkan bila naik iuran sedikit saja, ditambah pembayaran piutang, dan opsi bauran yang disediakan pemerintah, tentu mismatch tahun ini bisa teratasi,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel