Bisnis.com, JAKARTA — Jalan privatisasi dan pembentukan holding perseroan pelat merah akan kian berliku setelah masuknya poin persetujuan DPR dalam draf Rancangan Undang Undang tentang BUMN yang saat ini tengah memasuki tahap harmonisasi.
RUU BUMN diangkat sebagai topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (6/7/2018). Berikut laporan lengkapnya.
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah melakukan harmonisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Kamis, (5/7).
Dalam kesempatan tersebut, parlemen membahas sejumlah poin yang akan menjadi perubahan dari Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Dua poin yang menjadi sorotan utama dalam harmonisasi draf RUU tentang BUMN yakni privatisasi dan pembentukan holding. Hal tersebut sejalan dengan gencarnya aksi korporasi penawaran umum perdana saham (initial public offering/ IPO) anak usaha pelat merah, penjualan aset, serta terbentuknya sejumlah holding dalam beberapa waktu terakhir.
Parlemen mengusulkan adanya perubahan tentang tata cara privatisasi BUMN yang saat ini diatur dalam Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Poin tersebut diatur melalui Pasal 107 RUU Tentang BUMN yang menggarisbawahi adanya persetujuan DPR.
Selain itu, parleman menginginkan adanya perubahan terkait dengan Pengga bungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan BUMN yang saat ini diatur melalui Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 UU Nomor 19 Tahun 2003. Sebagai gantinya, diusulkan dalam Pasal 119 RUU Tentang BUMN. (Lihat grafis)
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi menjelaskan bahwa poin utama dari perubahan tata cara privatisasi, dalam RUU tentang BUMN, yakni diperlukannya persetujuan DPR. Aturan tersebut berlaku bagi seluruh keluarga besar perseroan pelat merah.
“Jadi semua privatisasi BUMN, anak usaha, cucu usaha, hingga cicit usaha melalui persetujuan DPR. Dalam Undang Undang yang berlaku saat ini tidak masuk poin tersebut,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Andi mengungkapkan alasan dibalik perubahan ketentuan yakni mempertajam fungsi pengawasan DPR. Dengan demikian, segala bentuk privatisasi oleh perseroan pelat merah mulai dari penawaran umum perdana saham (IPO), penjualan aset, hingga akuisisi harus mendapatkan restu parlemen. Terkait dengan pembentukan holding, imbuhnya, proses tersebut diusulkan memerlukan persetujuan DPR. Pasalnya, ketentuan tersebut tidak tertuang dalam UU yang berlaku saat ini. “Mekanisme tetap diatur pemerintah namun tertuang di Undang-Undang melalui persetujuan DPR,” jelasnya.
Seperti diketahui, mekanisme privatisasi dan pembentukan holding BUMN saat ini diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 Tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Hukum Badan Usaha Milik Negara.
Dengan mengacu kepada dua beleid tersebut, persetujuan DPR hanya diperlukan untuk IPO BUMN tetapi tidak untuk anak BUMN. Adapun, proses pembentukan dua holding terbaru, Holding BUMN Migas dan Holding BUMN Tambang beberapa waktu lalu juga tidak melalui persetujuan DPR.
Saat dihubungi Bisnis, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius Kiik Ro mengatakan belum bersedia memberikan komentar terkait dengan perubahan ketentuan DPR yang tertuang dalam draf RUU tersebut. Pasalnya, parlemen belum menyampaikan dan mengundang pemerintah secara formal.
“Begitu harmonisasi selesai, Pemerintah akan diundang untuk membahas poinpoin terkait masukan atau perubahan yang diusulkan sebelum RUU tersebut ditetapkan,” paparnya.
PROSES LAMBAT
Secara terpisah, Managing Director Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM FE UI) Toto Pranoto menilai terdapat kelebihan dengan dipersyaratkanya persetujuan DPR dalam proses privatisasi dan pembentukan holding BUMN.
Salah satunya, mengamankan kepentingan publik atas potensi privatisasi yang dianggap merugikan. “Fungsi check & balance supaya kewenangan pemerintah bisa diawasi dengan baik,” paparnya.
Akan tetapi, Toto menggarisbawahi sejumlah kelemahan dalam rancangan beleid tersebut. Hal itu menyangkut alternatif perseroan pelat merah dalam menghimpun pendanaan, khususnya melalui pasar modal.
Proses IPO misalnya, dia memperkirakan akan berpotensi melambat. Selama ini, dengan dipersyaratkannya persetujuan DPR untuk IPO induk BUMN, membuat eksekusi aksi korporasi tersebut memakan waktu yang panjang.
“Akibatnya IPO BUMN kehilangan momentum dan alternatif pendanaan BUMN di pasar modal berjalan lambat sehingga likuiditas bursa bisa terganggu,” imbuhnya.
Toto menyebut ketentuan persetujuan DPR tidak akan menjadi masalah sepanjang proses yang berjalan di Komite Privatisasi, Kementerian BUMN, dan DPR berjalan dengan cepat. Tujuannya, agar momentum eksekusi aksi korporasi tetap terjaga.
Menurut data yang dihimpun Bisnis, sejumlah BUMN berencana melakukan IPO anak usaha pada rentang 2018-2019. Langkah itu ditempuh sebagai alternatif meng himpun dana segar melalui pasar modal.
Ada pun, entitas anak tersebut yakni PT Adhi Persada Gedung, anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Rumah Sakit Pelni, anak usaha PT Pelni (Persero), PT PP Energi, anak usaha PT PP (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya Realty, anak usaha PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., dan PT Krakatau Bandar Samudera, anak usaha PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Saat dimintai tanggapan, Direktur Keuangan PP Agus Purbiyanto mengatakan akan mematuhi ketentuan yang berlaku. Emiten berkode saham PTPP itu masih mempertimbangkan IPO anak usaha, PP Energi.
Direktur Utama Adhi Karya Budi Harto menyampaikan hal senada, pihaknya akan mengikuti mekanisme IPO sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel