Bisnis.com, JAKARTA – Gaung pembangunan perdesaan di wilayah terpencil nusantara semakin kencang dalam beberapa tahun belakangan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah mendorong perekonomian demi membabat habis kemiskinan di wilayah pelosok. Untuk mengetahui lebih jauh perihal tantangan pembangunan perdesaan, Bisnis berkesempatan mewawancarai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo kala berada di Sorong, Papua Barat, pekan lalu. Berikut petikannya:
Bagaimana sebenarnya tugas dan fungsi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT)?
Tugas kami mengacu pada Permendes No. 6/2015 yaitu menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal, dan transmigasi untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Adapun fungsi kami di antaranya adalah sebagai perumus, penetap dan pelaksana kebijakan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan, pengembangan, hingga pembangunan daerah tertinggal, serta pengembangan kawasan transmigrasi.
Bagaimana perkembangan kebijakan penyaluran Dana Desa sejauh ini?
Saya hanya ingin menyampaikan dan meneruskan harapan dari Presiden Joko Widodo yang sangat penting bahwa presiden telah memberikan dana desa yang tidak kecil. Hingga 3 tahun ini sudah Rp187 triliun. Beliau akan terus mengalokasikan setiap tahunnya sesuai dengan kesiapan para perangkat desa.
Pada tahun depan, pagu indikatifnya sudah diberikan Rp73 triliun. Namun, kelihatannya Presiden masih mau menaikkannya lagi. Jadi, pemerintah juga pasti melihat tingkat keuangan negara bagaimana.
Di bahan presentasinya Bapak Presiden malah di-fait accompli Rp85 triliun . Pokoknya, komitmen presiden dalam membangun desa sangat kuat dan kalau bermanfaat pasti dananya akan dinaikkan terus.
Namun, mengapa insentif para pendamping desa yang bertugas di Jawa berbeda dengan yang bertugas di luar Jawa?
Buat teman-teman pendamping, anggaran pemerintah sangat terbatas. Alokasi dana untuk pelatihan pendamping desa itu saja jumlahnya hanya Rp1,8 triliun untuk sekitar hampir 40.000 orang pendamping.
Buat teman-teman pendamping, tugas ini diharapkan jangan sampai dijadikan mata pencaharian tetapi sebagai tempat belajar. Saya berharap para pendamping desa ini bisa belajar menjadi pengusaha-pengusaha di desa.
Buktinya, sekarang sudah banyak pendamping desa yang menjadi pengusaha di desa dan bisa memberikan pekerjaan bagi masyarakat desa. Saya harapkan para pendamping ini dalam 5—10 tahun ke depan bisa menjadi pengusaha kelas menengah dan besar yang memulainya dari basis desa sehingga desa akan terus berkembang.
Kebijakan apa yang difokuskan Kemendes untuk pengembangan desa di daerah seperti Papua?
Di Papua, Dana Desa sebagian besar masih untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini karena infrastruktur di desa-desa Papua masih sangat kurang. Namun, kalau di daerah-daerah yang dekat kota seperti di Kabupaten Sorong dan Jayapura, infrastrukturnya sudah cukup berkembang.
Oleh karena itu, saya anjurkan untuk fokus kepada pengembangan ekonomi. Pengembangannya bisa berupa pembangunan BUMDes seperti pembentukan bank sampah, membentuk desa-desa wisata, membuat pengolahan pascapanen.
Tolong beritahukan kepada para bupati untuk menemui saya dan ajukan proposal untuk membuat BUMDes. Dengan program pembangunan desa seperti ini, saya bisa me-link-kan ke 19 kementerian dan lembaga, dunia usaha, serta perbankan untuk men-support produk-produk unggulan desa di kabupaten tersebut.
Apakah penyaluran Dana Desa di kabupaten-kabupaten di Papua berjalan efektif?
Sorong misalnya, adalah contoh kabupaten di Papua yang pengelolaan Dana Desa-nya baik. Saya dengar penyerapan Dana Desa untuk tahap kedua di Kabupaten Sorong sudah 100%. Selain untuk infrastruktur, Dana Desa di sini juga digunakan untuk pemberdayaan ekonomi desa, misalnya pengelolaan bank sampah.
Bagaimana caranya agar desa-desa di Papua bisa memanfaatkan Dana Desa?
Desa-desa di Papua masih perlu waktu. Namun, kalau dilihat ekonominya tumbuh cukup signifikan karena mereka memang basisnya masih sangat tertinggal dan tingkat kedalaman kemiskinannya juga sangat tinggi.
Yang kami lakukan adalah pembentukan settlement di desa-desa agar masyarakat tidak berpindah-pindah. Dengan begitu, daerah desanya bisa dibangun infrastruktur dasar seperti sarana air bersih, MCK, hingga posyandu. Selanjutnya, pemberdayaan ekonomi. Jika tak ada infrastruktur dasar, susah bagi masyarakat untuk berkembang.
Bagaimana dengan daerah-daerah yang belum mampu membangun unit usaha desa seperti di perbatasan?
Ini tergantung pada kepala daerahnya juga. Di Kalimantan Utara, Kabupaten Nunukan, kita justru melihat perkembangan desa di Sebatik pesat sekali. Ini karena program-program pengembangan desanya sudah mengikuti arahan Kemendes PDTT yaitu Prukades (Produk Unggulan Kawasan Perdesaan).
Misalnya, mereka memaksimalkan komoditas jagung dan budi daya ikan olahan sehingga bisa diekspor ke Tawau, Malaysia, misalnya. Jadi tidak ada alasan desa-desa yang ada di perbatasan tak bisa membangun unit usaha desa.
Yang penting fokus pada produk unggulan tertentu. Dengan demikian, desa bisa menghasilkan skala produksi besar yang membuat dunia usaha ikut masuk membangun sarana dan prasarana. Pada tahun ini saja sudah ada 68 perusahaan berinvestasi pascapanen di desa-desa sebanyak Rp47 triliun. Nah, pada Agustus ini akan saya buka lagi.
Bagaimana Kemendes memantau geliat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah terpencil saat ini?
Di daerah-daerah pesisir seperti Sorong, Papua Barat, pertumbuhannya cukup tinggi yaitu 11,8%. Ini melampaui pertumbuhan nasional. Namun, kalau di daerah-daerah pegunungan memang agak terisolir sehingga masih agak lambat.
Nah, dengan dibangunnya jalan oleh Presiden Jokowi sampai menembus ke daerah-daerah pegunungan, pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut diharapkan bisa lebih cepat.
Namun, beberapa daerah seperti di Maluku ada warga yang meninggal karena kelaparan. Bagaimana tanggapan Anda?
Kita mesti tahu bahwa membangun desa itu tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Ini karena banyak desa di Indonesia yang basisnya berat atau tertinggal. Dengan adanya Dana Desa, pelan-pelan desa itu mulai rata.
Kalau dulu, Dana Desa diserahkan ke kabupaten sehingga setiap desa tidak selalu memperoleh dana yang sama. Sekarang, paling tidak, desa mendapatkan dana yang sama. Adapun, desa yang miskin akan mendapatkan dana yang lebih besar.
Desa-desa miskin inilah yang mendapatkan afirmasi penanganan lebih cepat, bahwa kemudian masih ada desa yang miskin memang tak bisa dibantah. Namun, kalau kita lihat penurunan angka kemiskinan di desa pada tahun ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Dari sekitar 1,8 juta penduduk miskin di desa pada tahun lalu, ada sekitar 520.000 penduduk . Kalau ini bisa kita pertahankan, dalam 7 tahun ke depan jumlah orang miskin di desa akan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah orang miskin di kota.
Bagaimana logikanya angka kemiskinan di desa bisa berkurang dengan adanya Dana Desa?
Dengan Dana Desa, penurunan angka kemiskinan itu pace-nya bisa 1%—1,5% per tahun. Ini cukup besar. Otomatis, kalau kemiskinan di desa sekarang masih ada sekitar 12%, artinya ini tidak sampai 10 tahun kemiskinan di desa sudah bisa ditanggulangi.
Namun, kami masih ada kesulitan untuk mengoptimalkan penyerapan Dana Desa yang efektif di daerah-daerah pegunungan karena beberapa desa hanya dihuni oleh sedikit kepala keluarga. Terlebih, daerah-daerah tersebut susah terjangkau akses transportasi. Untuk menuju ke sana harus dengan menggunakan pesawat.
Nah, ini pelan-pelan pemerintah akan membangun infrastruktur agar desa-desa itu terhubung satu dengan yang lain. Begitu infrastruktur sudah masuk, pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan mudah. Membangun desa di daerah-daerah pegunungan itu tidak cukup hanya dengan uang Rp100 miliar per satu desa.
Terbentuknya BUMDes diharapkan agar desa lebih mandiri, tapi ini pun belum berjalan seperti yang diharapkan. Bagaimana Anda menilainya?
Ini sama halnya dengan kita sekolah di MBA school. Semua mahasiswanya diajarkan bagaimana caranya menjadi CEO dan orang kaya, tapi tidak semua mahasiswa akan menjadi orang kaya dan CEO juga karena semua perlu waktu. Ini sama halnya dengan membangun desa.
Sekarang sudah ada 32.000—39.000 BUMDes di seluruh Indonesia tapi yang membukukan keuntungan baru 10.000 BUMDes karena tidak semua desa memiliki SDM yang mampu mengelola BUMDes dengan baik.
Nah, kami bekerja sama dengan beberapa BUMN pada tahun lalu dan setiap tahun berhasil melatih sekitar 1.500 pengurus BUMDes. Namun, jumlah desa kita hampir sekitar 75.000. Kalau setiap tahun cuman 1.500, artinya butuh 50 tahun untuk melatih semua pengurus BUMDes di desa-desa.
Akhirnya, kami melakukan terobosan dengan menggulirkan program Prukades dengan melakukan pendampingan dan pelatihan yang bekerja sama dengan pihak swasta. Ini akan bisa mempercepat proses edukasi.
Selanjutnya ada program Akademi Desa. Dengan adanya program ini, semua kegiatan desa kami siarkan melalui media online dan portal-portal kampus.
Apakah program Akademi Desa bisa berjalan efektif?
Sekarang kami masih menggunakan pendamping desa. Memang sampai saat ini itulah cara yang paling efektif tapi ini ongkosnya terlalu mahal. Biaya untuk pendamping ini tidak murah karena harus naik kapal ke tempat terpencil, lanjut naik pesawat, dilatih 1—2 minggu itu kami nilai belum maksimal.
Nah, dengan adanya program Akademi Desa ini bisa membuat semua menjadi lebih efektif. Kegiatan gurunya kami filmkan dan materinya kami bagikan secara online sehingga semuanya bisa mempelajari materi kapanpun dan di manapun. Setiap 6 bulan, kami akan buatkan sertifikasi bekerja sama dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi).
Sejauh ini, bagaimana akuntabilitas pengelolaan Dana Desa Kemendes?
Akuntabilitas Dana Desa saat ini sudah jauh lebih baik. Kami juga sudah melibatkan semua unsur penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK dan media sehingga masyarakat bisa langsung terlibat.
Kalau pada awal Dana Desa ini bergulir, hampir setiap hari ada kasus tentang Dana Desa tapi sekarang sudah jauh berkurang karena pengawasannya lebih bagus.
Dana Desa ini pencairannya dilakukan tiga tahap. Nah, kalau tahap sebelumnya belum selesai dan auditnya tidak diterima, pencairan berikutnya tidak bisa dilakukan. Kalau Dana Desa bisa cair, artinya semua tahap sudah beres.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel