Bisnis.com, JAKARTA—Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia memprotes keras peraturan BPJS Kesehatan yang bisa mendorong turunnya pelayanan medis kepada masyarakat.
Di sisi lain, langkah BPJS tersebut dinilai sebagai upaya efisiensi. Meski demikian, PB IDI berpendapat efisiensi yang dijalankan BPJS Kesehatan tidak harus "mendiskon" mutu layanan kesehatan.
PB IDI pun menyampaikan sembilan sikap tegas terhadap Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan 2018 BPJS Kesehatan Nomor 2,3, dan 5 Tahun 2018.
Untuk diketahui, mulai 25 Juli 2018, BPJS Kesehatan menerapkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampel) BPJS Kesehatan no. 2, 3 dan 5 tahun 2018 berisi tentang:
Pertama, Bayi baru lahir dengan kondisi sehat post operasi caesar maupun per vaginam dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam 1 paket persalinan.
Kedua, Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus kurang dari 6/18 dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota.
Ketiga, Tindakan rehabilitasi medis dibatasi maksimal 2 kali per minggu (8 kali dalam 1 bulan).
IDI menyimpulkan Perdirjampel nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 merugikan masyarakat dalam mendapatkan mutu pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Sesuai dengan peraturan presiden nomor 12 tahun 2013 pasal 22 dan pasal 25, semua jenis penyakit di atas harusnya dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Perdirjampel nomor 2,3 dan 5 berpotensi melanggar UU SJSN No. 40 tahun 2004 Pasal 24 Ayat (3) yang berisi ‘Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi, dan efektivitas jaminan kesehatan’.
Oleh karena itu, PB IDI menyatakan dalam melakukan upaya efisiensi BPJS Kesehatan seharusnya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien. Selain itu BPJS Kesehatan dapat membuat aturan tentang iur/urun biaya.
Perdirjampel nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 juga dianggap tidak mengacu pada Perpres 19 tahun 2016 tentang JKN khususnya pasal 43a ayat (1) yaitu BPJS Kesehatan mengembangkan teknis operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas.
Selain itu, Perdirjampel nomor 3 Tahun 2018 Bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 76 tahun 2016 tentang pedoman INA-CBG yaitu merupakan sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan penyakit yang diderita pasien.
Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan tarif INA-CBG yang merupakan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu kelompok diagnosis dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional.
Untuk itu IDI meminta BPJS Kesehatan membatalkan Perdirjampel nomor 2,3 dan 5 tahun 2018 untuk direvisi sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya mebahas teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis.
IDI juga meminta defisit BPJS tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan kualitas pelayanan. Dokter harus mengedepankan pelayanan sesuai dengan standar profesi.
Terakhir, IDI bersama-sama stakeholder lain, di antaranya Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mendorong Kemenkes untuk memperbaiki regulasi tentang penjaminan dan pengaturan skema pembiayaan untuk mengatasi defisit pembiayaan jaminan kesehatan nasional.
IDI juga mendorong terbitnya peraturan presiden tentang iur/urun biaya sesuai amanah UU nomor 40 tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel