China Bersiap Perkuat Ekonomi Domestik

Bisnis.com,03 Agt 2018, 12:23 WIB
Penulis: Dwi Nicken Tari
Yuan/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah China akan lebih memperhatikan mekanisme kebijakan moneter untuk mendukung sektor riil di tengah risiko perlambatan ekonomi dan tensi dagang dengan AS.
 
Pernyataan yang ditampilkan di laman resmi State Council China menyebutkan Negeri Panda akan menyeimbangkan stabilitas pertumbuhan ekonomi dan mencegah terjadinya risiko.
 
“Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan supaya institusi keuangan dapat menambah dukungan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Di saat bersamaan, seluruh aliran dana modal juga harus dikendalikan dengan baik ,” tulis pernyataan tersebut, seperti dilansir Bloomberg, Jumat (3/8/2018).
 
Pernyataan tersebut merupakan hasil dari pertemuan Komite Pengembangan Stabilitas Keuangan China yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri (PM) China Liu He.

Pernyataan itu juga menyinggung isu yang dibicarakan di dalam pertemuan Politbiro pada awal pekan ini, bahwa para pembuat kebijakan kini lebih fokus untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah berjalannya kampanye pengurangan tingkat utang (deleveraging) dan tensi dagang dengan AS.
 
Para pembuat kebijakan juga berjanji untuk membuat kebijakan fiskal yang lebih efektif, seperti menggunakan perangkat pemangkasan pajak dan asuransi obligasi pemerintah.

Selain itu, Pemerintah China bakal melanjutkan reformasi keuangan sambil menahan malapraktik dari institusi keuangan ilegal.

Para pembuat kebijakan pun berencana mempelajari aturan deleveraging struktural sebagai upaya melonggarkan pengetatan aturan pinjaman, tapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
 
Hal itu turut memperlihatkan bahwa China bersiap untuk memperkuat ekonomi domestiknya di tengah-tengah tingginya tensi perdagangan dengan AS.
 
Dalam perkembangan terpisah, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross memberikan sinyal bahwa China dapat lebih menderita jika tidak kunjung mengubah sistem ekonomi dan perdagangannya.
 
"Kami harus menciptakan situasi yang lebih berat supaya China mau mereformasi praktik buruknya," ujarnya.

Ross menuturkan alasan diberlakukannya tarif impor adalah untuk membujuk China agar mengubah sikap. Namun, karena China justru melakukan aksi balasan maka Presiden AS Donald Trump merasa perlu untuk menambah tekanan.
 
Terbaru, Trump telah menaikkan ancaman tarif yang awalnya 10% menjadi 25% untuk produk impor asal China senilai US$200 miliar. China sudah menegaskan bahwa ancaman apapun yang diberikan tidak akan membuahkan hasil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Margrit
Terkini