Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan izin kepada perbankan menyalurkan kredit kepada pengembang untuk keperluan pembebasan lahan. Syaratnya, tanah tersebut akan dibangun dalam kurun waktu satu tahun dan digunakan untuk pembangunan rumah tapak atau susun yang bukan berlokasi di kawasan komersial.
“Pengembang menengah ke bawah itu kesulitan karena tidak punya dana dari bank. Ini agar menengah ke bawah juga bisa dapat kredit kalau dia ingin bangun perumahan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiana di Menara Radius Prawiro, Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pembangunan rumah perlu didorong karena menimbulkan efek domino besar ke sektor industri lain. Apabila pembangunan infrastruktur tidak didukung dengan hunian, akan terjadi pertumbuhan organik yang tidak tertata dan lambat. “Perumbahan ini akan memacu ekonomi,” katanya.
Hal tersebut disampaikan otoritas dalam paket kebijakan baru untk mendorong pengembangan ekspor dan perekonomian nasional. Selain itu juga termasuk di dalamnya penurunan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia terkait kredit pemilikan rumah (KPR), yakni relaksasi loan to value (LTV).
Saat ini, besaran ATMR untuk kredit perumahan ditetapkan sebesar 35%. Dalam aturan baru, OJK menerapkan besaran ATMR berbeda-beda, tergantung kepada rasio LTV yang ditetapkan oleh bank. Aturan LTV yang dirilis oleh Bank Indonesia membebaskan bank mengatur sendiri rasio LTV sesuai dengan tingkat risiko debitur.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiana mengatakan, bobot risiko kredit rumah akan disesuaikan dengan besaran LTV yang ditetapkan oleh bank. Semakin tinggi LTV, semakin tinggi ATMR.
“Jadi bobot risiko untuk kredit rumah tinggal di aturan baru akan disesuaikan jadi 20% untuk rasio LTV 50-70 persen. 35% untuk rasio LTV lebih dari dari 70-100%,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel