Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia kembali berduka. Dalam kurun waktu 2 bulan, terjadi dua peristiwa gempa bumi besar yang merobek bagian sebelah timur wilayah nusantara.
Kejadian gempa pertama terjadi secara beruntun di kawasan Lombok dan sekitarnya, mulai akhir Juli hingga akhir Agustus 2018 dengan magnitudo antara M6 hingga M7. Tercatat empat gempa besar terjadi, dan peristiwa pada 5 Agustus merupakan kejadian gempa terbesar dengan M7,0.
Aktivitas sesar naik Flores (Flores Back Arc Thrust) tersebut menimbulkan kerugian ekonomi serta korban jiwa yang besar. BNPB memperkirakan kerugian ekonomi sementara Rp5 triliun dan lebih dari 500 orang tewas serta sekitar 72.000 rumah tinggal mengalami kerusakan.
Berdasarkan pensesian risiko gempa bumi yang diterima, PT Reasuransi MAIPARK Indonesia—perusahaan reasuransi khusus risiko bencana yang mengelola pensesian risiko gempa bumi— mencatat kerugian asuransi gempa bumi secara nasional di kawasan Lombok dan sekitarnya pada akhir September 2018 yaitu sekitar Rp400 miliar.
Angka ini berdasarkan pensesian gempa bumi yang masuk ke MAIPARK dan masih terus berkembang karena sebagian besar laporan klaim yang masuk belum menyertakan angka kerugiannya, dikarenakan proses penilaian kerugian masih berlangsung hingga saat ini.
Kejadian gempa bumi besar kedua pada 28 September 2018 jauh lebih dahsyat dan merusak. Peristiwa gempa besar berskala richter 7,4 ini akibat aktifnya sesar Palu Koro yang membelah Kota Palu sepanjang 500-an kilometer.
Berbeda dengan kejadian gempa Lombok, gempa Palu ini selain menimbukan guncangan, terjadi pula tsunami serta liquifaction.
Peristiwa gempa Palu menimbulkan kerugian ekonomi sekitar Rp10 triliun serta korban tewas lebih dari 1.400 jiwa. Hampir pasti angka tersebut masih akan meningkat dikarenakan beberapa lokasi masih sulit diakses dikarenakan kerusakan yang sangat parah akibat diterjang tsunami.
Jika gempa bermagnitudo kuat dan merusak kerap terjadi di Indonesia, hal ini akan menggerus anggaran pemerintah yang digunakan dalam upaya penanganan bencana dari tahap tanggap darurat hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruski.
Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya lebih komprehensif dalam kaitan penanganan bencana secara lebih luas.
Ada empat hal yang bisa dilakukan Pemerintah dalam penanggulangan bencana, termasuk bencana akibat gempa bumi. Pertama, belajar dari gempa Lombok, kerusakan parah terjadi pada perumahan penduduk. Hal itu lantaran sebagian besar rumah tinggal tersebut didirikan dengan kadiah yang kurang memadai sehingga rawan rusak akibat guncangan.
Belajar dari kasus gempa Lombok yang menghancurkan bangunan komersial serta puluhan ribu rumah tinggal tersebut, maka penerapan building code untuk mendirikan bangunan tinggi serta pembuatan rumah tinggal tahan gempa sudah merupakan suatu keharusan. Hal ini diterapkan di negara-negara yang rawan gempa gempa seperti di Jepang.
Kedua, belajar dari kasus gempa Palu kemarin, di mana gempa bumi terjadi di jalur sesar Palu Koro dan banyak masyarakat tinggal di kawasan sesar tersebut, perlu diterapkan relokasi, rehabilitasi serta rekonstruksi kawasan hunian masyarakat yang jauh dari daerah rawan gempa seperti sebelumnya.
Hal ketiga yang perlu dilakukan yaitu peningkatan kesadaran masyarakat akan potensi berbagai bahaya yang mengancam (disaster awareness).
Dalam peta Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) yang dikeluarkan BNPB, sebanyak 136 dari 500 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata rawan akan potensi bencana alam.
Hal ini ditunjukkan dengan nilai indeks bencana yang tinggi. BNPB juga mencatat sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana. Berdasarkan jenis bencana, sebanyak 148 juta warga tinggal di daerah rawan gempa bumi, 64 juta warga tinggal di kawasan rawan banjir serta 41 juta warga di kawasan rawan longsor.
Undang-undang Penangulangan Bencana Nomor 24 tahun 2007 mengenal 14 jenis bencana yang terbagi menjadi bencana alam dan nonalam.
Seperti pepatah bilang, mencegah lebih baik daripada mengobati, maka pilihan mitigasi berupa peningkatan kesadaran masyarakat akan potensi bahaya menjadi pilihan yang penting dalam membangun kapasitas mayarakat dalam menghadapi bencana.
Alhasil, diharapkan masyarakat paham bagaimana bertindak ketika terjadi bencana. Diharapkan pula peningkatan kapasitas masyarakat ini akan jauh mengurangi jumlah korban maupun kerugian lainnya akibat bencana.
Keempat, yang tak kalah penting yaitu perlu adanya transfer risiko melalui kemitraan antara pemerintah dan dunia usaha yang dikenal dengan istilah Public Private Partnership (PPP).
Kita ingat besarnya kerugian finansial pemerintah setelah peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada 2004 yang menimbulkan kerugian pemerintah sekitar Rp42 triliun serta menewaskan 170-an ribu jiwa di Indonesia.
Total korban tewas akibat gempa Aceh tersebut sekitar 280.000 jiwa yang berasal dari 14 negara, termasuk Indonesia. Besarnya kerugian tersebut mengakibatkan Pemerintah harus merevisi anggaran beberapa kali.
Gempa Lombok dan Gempa Palu lalu tentunya juga akan menggerus anggaran pemerintah dalam penanggulan bencana. Oleh karenanya pemerintah perlu melakukan upaya mitigasi keuangan dalam mengatasi potensi kerugian pemerintah, industri dan juga masyarakat. Hal ini banyak dilakukan negara-negara di dunia.
Di berbagai negara yang rawan bencana tersebut, upaya mitigasi proteksi keuangan, yang disebut juga Disaster Risk Financing In Insurance (DRFI), sudah banyak dilakukan di negara seperti misalnya Jepang, Taiwan, Turki, Meksiko hingga Kepulauan Karibia.
Dalam skema PPP tadi, pemerintah dan dunia usaha bekerjasama dalam membuat program proteksi kerugian keuangan dalam bentuk proteksi asuransi yang bida digabung pula dengan catastrophe bond.
Di Jepang misalnya, pemerintah ikut serta dalam progam proteksi asuransi untuk rumah tinggal warganya terhadap bencana gempa bumi. Hal yang serupa dilakukan pemerintah di negara lain, yaitu Taiwan dan Turki.
Bahkan skema DRFI di Meksiko, selain memberikan proteksi keuangan terhadap rumah tinggal, skema tersebut melindungi infrastruktur dan barang milik negara.
Saat ini Indonesia sudah memiliki kerangka DRFI yang sedang dirintis, yaitu dengan melibatkan mekanisme proteksi asuransi dalam upaya penanggulangan bencana alam di Indonesia.
Proteksi asuransi yang saat ini ada misalnya asuransi pertanian, asuransi perikanan, serta asuransi barang milik negara (ABMN) yang ditujukan untuk melindungi aset pemerintah dari risiko bencana.
Program DRFI lainnya yang belum ada saat ini, tetapi sebaiknya dipertimbangkan Pemerintah Indonesia adalah program perlindungan rumah tinggal penduduk Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat data BNPB yang menyebutkan lebih dari separuh warga Indonesia tinggal di kawasan rawan gempa bumi.
Perlindungan warga terhadap bahaya gempa bumi ini penting mengingat sifatnya yang muncul tiba-tiba serta merusak secara masif serta luas.
Saat ini, jenis asuransi gempa bumi ada yang bisa dibeli oleh korporasi maupun perseorangan. Polis asuransi gempa bumi yang digunakan yaitu Polis Standar Asuransi Gempa Bumi Indonesia (PSAGBI) yang memberikan jaminan gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami maupun kebakaran yang diakibatkan peristiwa gempa bumi.
Asuransi gempa bumi ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan jaminan perluasan tambahan selain jaminan asuransi kebakaran, property all risks (PAR) atau industrial all risks (IAR).
Sebagian dari risiko gempa bumi tadi disesikan ke PT Reasuransi MAIPARK Indonesia dengan tujuan meningkatkan kapasitas asuransi gempa bumi nasional dan juga membentuk database statistik risiko gempa bumi yang dilakukan untuk penelitian serta pembentukan tarif asuransi gempa bumi nasional.
MAIPARK juga melakukan penelitian gempa bumi serta kebencanaan lainnya yang bermanfaat untuk asuransi kebencanaan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut berguna bagi industri asuransi agar menambah kapasitas pengetahuan para insurance underwriter mengenai risiko kebencanaan.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (8/10/2018)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel