Bahana TCW: Kuartal IV/2018, Tekanan Terhadap Pasar Modal Nasional Mereda

Bisnis.com,05 Nov 2018, 16:14 WIB
Penulis: Tegar Arief
Chief Economist & Direktur Investor Relations Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menjawab pertanyaan redaksi disela-sela Bisnis Indonesia Leader's Day, di kantor Bisnis Indonesia, Jakarta, Selasa (5/9)./JIBI-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA - Tekanan terhadap pasar modal Tanah Air pada kuartal IV/2018 diprediksi mereda. Hal itu diindikasikan oleh mulai masuknya arus modal ke pasar obligasi dan pasar saham.

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, masuknya arus modal asing itu disebabkan oleh sentimen investor terhadap negara berkembang yang menjadi pulih dan murahnya valuasi pasar negara berkembang.

"Investor masih yakin akan fundamental ekonomi Indonesia yang stabil. Meski terseret sentimen negatif, sebagai negara berkembang, Indonesia menunjukkan indikator ekonomi yang relatif kuat," kata dia, Senin (5/11/2018).

Kata dia, penerimaan pajak di Indonesia hingga September 2018 tumbuh 17% yang menunjukkan pemerintah masih mampu membiayai anggaran negara secara internal. Di samping itu, data domestik seperti penjualan mobil dan motor membaik, dan kredit perbankan hingga September 2018 tumbuh 12,6% yoy.

Selain itu, valuasi Indonesia telah dianggap murah, di mana IHSG telah terkoreksi 7,07% sejak awal tahun (ytd). Adapun, yield obligasi mencapai 8,29% per tahun, yang artinya investor bisa memperoleh return obligasi sebesar 8,29% per tahun.

"Koreksi di pasar saham yang cukup dalam membuat valuasi valuasi IHSG dan saham menjadi menarik. Investor pun mulai kembali untuk masuk ke pasar saham dan obligasi," imbuhnya.

Dia menambahkan, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disebabkan oleh pelemahan harga minyak sehingga meringankan biaya impor minyak. Rupiah juga menguat dengan hembusan ‘angin segar’ dari resolusi konflik dagang AS dengan Cina.

Ke depan, dia meyakini jika arus modal asing akan semakin deras masuk ke emerging market, termasuk Indonesia. Menurutnya, pada 2020 banyak ekonom dan analis menduga pertumbuhan ekonomi negara berkembang itu lebih cepat dari negara maju.

Dia menilai, laju perekonomian AS mulai melambat sebab beban pembayaran utang akibat kenaikan bunga menurunkan kapasitas belanja rumah tangga dan perusahaan.

"Perekonomian global yang lebih berimbang memungkinkan dolar AS berpotensi masuk ke siklus melemah. Diharapkan ada arus balik menuju emerging market yg sudah underperform dari negara maju cukup lama," ujarnya.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Riendy Astria
Terkini