Bisnis.com, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi pada 2019 yang dipatok pemerintah sebesar 5,3% dinilai masih overshoot, sebab tekanan terhadap seluruh faktor pendorong pertumbuhan ekonomi masih tinggi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan tantangan ekonomi pada 2019 masih cukup tinggi terutama mendekati tahun politik dimana investasi cenderung ditahan dan konsumsi rumah tangga yang berisiko stagnan.
"IMF [International Monetary Fund] saja yang biasanya cukup optimistis saja memproyeksikan tahun depan pertumbuhan ekonomi 5,1%. Jadi, kemungkinan besar pertumbuhan pada 2019 berkisar 5,05% - 5,1%," ungkapnya kepada Bisnis pada Minggu (4/11/2018).
Dengan demikian, Bhima menilai target pertumbuhan ekonomi 5,14% - 5,3% masih overshoot atau terlalu tinggi.
Dia melanjutkan tantangan pada 2019 adalah konsumsi rumah tangga yang berisiko stagnan di level 4,9% - 5%.
"Meskipun tahun politik bisa dorong pengeluaran, efeknya kecil ketika suku bunga semakin naik, dampak imported inflation mulai terasa, tekanan kurs rupiah, penyesuaian harga BBM nonsubsidi serta harga komoditas perkebunan yang belum pulih," jelasnya.
Menurutnya, dengan berbagai tantangan tersebut, masyarakat akan menahan belanjanya.
Sementara itu, menurutnya, investasi pun akan ditahan pada tahun politik, karena investor cenderung memilih aset yang aman seperti dolar AS dan yen.
Dengan demikian, komitmen investasi pada 2019 pun belum bisa direalisasikan. "Peringkat kemudahan berbisnis yang turun jg jadi faktor lambatnya investasi."
Bhima menilai ekspor Indonesia akan terganggu proteksi dagang yang diinisiasi India lewat bea masuk crude palm oil (CPO).
Menurutnya, ekspor CPO pada 2019 akan agak berat karena tahun depan India melaksanakan pemilu di mana rezim saat ini menjual populisme dengan menghambat produk Indonesia.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara optimistis pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5,3% atau paling tidak dengan risiko ke bawah mencapai 5,14%.
Dia mengungkapkan konsumsi rumah tangga masih akan menjadi motor penggerak utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bersama belanja perlindungan sosial pemerintah.
"Pertumbuhan ekonomi tidak di bawah 5,1%, semoga bisa dapat 5,1%. Sumbernya, dari perekonomian, pemilu dampak konsumsi, khususnya anggaran pemerintah yang sifatnya cash transfer dan bansos yang akan membantu konsumsi bagi masyarakat berpenghasilan rendah," tuturnya.
Dengan dana perlindungan sosial yang di arahkan untuk 40% penduduk termiskin, ungkapnya, masyarakat berpenghasilan rendah dapat dana yang lebih besar dan penghasilan itu untuk konsumsi.
"Bansos kita tingkatkan dan unit rumahnya 3,4jt/tahun, BPNT terus. Kenaikan gaji PNS, THR dan Gaji ke-13 bukan hanya utk pusat, tapi untuk daerah. Itu jadi dorongan utk konsumsi tahun depan," papar Suahasil.
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2019 mencapai 5,3%, dengan perincian pertumbuhan komponen PDB dari konsumsi rumah tangga dan lembaga nonprofit rumah tangga (LNPRT) sebesar 5,1%, konsumsi pemerintah 5,4%, pembentukan modal tetap bruto 7,0%, ekspor tumbuh 6,3%, dan impor tumbuh hanya 7,1%.
Prospek pertumbuhan ekonomi pada 2019 berasal dari penyelesaian pembangunan infrastruktur diperkirakan tetap menjadi salah satu pendorong investasi. Lalu, pemerintah memperkirakan tingkat konsumsi masih tumbuh baik, terutama bersumber dari penciptaan lapangan kerja dan tingkat inflasi yang terjaga.
Adapun tantangan pertumbuhan ekonomi versi pemerintah adalah masih ada tekanan dari volatilitas sektor keuangan global yang bersumber dari kebijakan moneter AS dan ketidakpastian dalam perdagangan global akibat perang dagang. Selain itu, kebijakan fiskal yang diarahkan untuk memperkuat pertumbuhan investasi di tengah upaya menjaga stabilitas perekonomian membuat pemerintah harus membuat trade-off antara stabilitas dengan pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Lembong, optimistis pertumbuhan investasi pada 2019 dapat sesuai targetnya mencapai 2 digit atau di atas 10%. Dia merinci, hal ini sebagai dampak dari perbaikan tata kelola investasi yang lebih baik.
“Konsisten target saya adalah 2019 pertumbuhan investasi kembali ke double digit rupiah nominal, dikurangi inflasi 3,5% bisa di high single digit riil. Tahun depan kita harus kembali double digit," ungkapnya.
Sementara itu, Thomas ingin proporsi investasi internasional tahun depan meningkat. "Caranya dengan kepercayaan, reformasi-reformasi signifikan terus terang selama ini sempat jadi tidak fokus," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel