Evaluasi 4 Tahun Pemerintahan Jokowi

Bisnis.com,04 Jan 2019, 02:02 WIB
Penulis: Eka Sastra, Ketua REPNAS Jokowi-Maruf
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Wapres Jusuf Kalla berjalan bersama di kediaman Wakil Presiden Jusuf Kalla, di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (22/12/2018)./ANTARA-Wahyu Putro A

Bisnis.com, JAKARTA--Sejak Amerika mulai menghentikan quantitave easing (QE) tahun 2014 dunia mulai berubah, dampaknya mulai terasa di Indonesia sejak Semester II-2013 sehingga sempat menimbulkan taper tantrum.

Kondisi ini diikuti dengan kenaikan suku bunga the Fed pertama pada akhir tahun 2015, hal ini menyebabkan capital outflow dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Kemudian hal ini juga bersamaan dengan turunnya harga-harga komoditas unggulan Indonesia secara bertahap sejak tahun 2013 terutama batubara dan sawit.

Dengan kondisi dan latar belakang itulah, Jokowi naik ke panggung kekuasaan. Semangat perbaikan yang menggebu-gebu tidak diiringi dengan kondsi makro yang kondusif.

Penerimaan negara dikurangi dengan pengeluaran (tidak termasuk bayar bunga dan cicilan utang) hasilnya adalah negatif sebesar 1,03% dari PDB. Artinya negara tekor.

Untuk mengatasinya tentu harus meningkatkan penerimaan. Sementara ketika itu harga komoditas semua terjun bebas di pasaran. Bukan hanya minyak, namun juga komoditas non-minyak. Semua mengalami penurunan.

Dari situlah cerita dimulai, tantangan tidak menjadi halangan tapi hambatan yang harus disiasati. Transformasi daya saing Indonesia harus tetap dilakukan bila Indonesia ingin menjadi yang terdepan pada saat Generasi Emas berjaya 2030 nanti.

Indonesia terancam middle income trap, sulit naik menjadi negara maju bila tidak meningkatkan kapasitas dan kapabilitas. Kuncinya hanya ada dua yaitu peningkatan infrastruktur dan kualitas SDM. Saat itu (periode 2010 – 2015) banyak kajian dari berbagai lembaga dunia yang menyatakan bahwa Indonesia mengalami lack terhadap infrastruktur dan kualitas tenaga kerja.

Oleh karena itu, Periode I Pemerintahan Jokowi fokus pada pembangunan infrastruktur, sementara rencananya pada periode II nanti akan fokus pada pembangunan SDM. Pemangkasan subsidi yang tidak tepat sasaran dan insentif untuk mendorong produktivitas mulai dilakukan. Pemangkasan prosedur perizinan dan sinkronisasi perizinan pusat-daerah diluncurkan.

Paket kebijakan ekonomi dikeluarkan sampai 16 tahap untuk mengurai bottleneck perekonomian. Pemerataan pembangunan dijalankan ke seluruh daerah termasuk pembangunan jalan diperbatasan kalimantan, trans sumatera, trans jawa, trans sulawesi dan papua, termasuk pemerataan anggaran terus ditingkatkan, transfer ke daerah menjadi lebih dari 40% belanja APBN.

Sebagian orang akan berkata, hutang terus meningkat untuk membiayai pembangunan. Benar utang bertambah. Tetapi kemampuan kita membayar semakin besar. Itu bisa dilihat dari data defisit keseimbangan primer APBN yang dari tahun ketahun terus menurun.

Bila awal Jokowi berkuasa keseimbangan primer 0,88%, sekarang tinggal separuh atau 0,44%. Dan tahun ini kita mengalami surplus keseimbangan primer. Jadi tidak ada lagi defisit primer. Ini salah satu penyebab mengapa SBN kita laku keras diserap investor karena kinerja pemerintah secara finansial itu sehat sekali.

Contoh sederhana yaitu Turki gagal menerbitkan global Bond untuk mengatasi lira yang jatuh, dan akhirnya terpaksa lempar handuk putih agar dapat bantuan dari IMF dan tetangganya Qatar.

Apa hasilnya setelah empat tahun Jokowi berkuasa? Penerimaan negara terus meningkat signifikan seiring meningkatnya PDB.

Pada 2014 kontribusi perpajakan sebesar 75%, lalu 2015 naik 82,3%, 2016 naik 82,6% dan 2017 turun sedikit 80,6%. Tahun 2018 ini dapat dipastikan diatas 85%. Sedangkan penerimaan negara tahun 2018 dipastikan melampaui target 100%.

Hal ini merupakan prestasi luar biasa yang patut disyukuri ditengah kondisi makro dan geopolitik yang kurang kondusif. PDB Indonesia sebesar USD 890 miliar tahun 2014, meningkat signifikan sebesar USD 1,015 miliar tahun 2018 sehingga kita masuk kelompok negara diatas satu triliun dollar.

Bagaimana dengan kesehatan APBN? Pada 2014 defisit APBN sebesar 2,25% terhadap PDB. Pada 2015 naik 2,58, lalu turun pada 2016 menjadi 2,49%, 2017 kembali turun menjadi 2,12% dan tahun 2018 menjadi 1,72%. Hal ini diikuti oleh surplus keseimbangan primer sebesar Rp 4,1 triliun.

Hasil itu menjadikan APBN 2018 sebagai APBN pertama yang merupakan surplus keseimbangan primer sejak APBN 2011. Bila surplus keseimbangan primer ini dapat kita jaga secara konsisten, maka pembangunan bisa dilakukan tanpa utang.

Pertanyaan selanjutnya setelah trasformasi pembangunan dan kesehatan APBN yang terjaga ialah apa pengaruhnya bagi rakyat? Disamping semakin meluasnya pembangunan infrastruktur ekonomi, harga barang kebutuhan sehari-hari tidak meningkat luar biasa.

Padahal Indonesia selama 4 tahun mengalami tekanan ekonomi yang luar biasa akihat faktor eksternal seperti kebijakan the fed atas suku bunga yang meningkat dan kemudian perang dagang antara US dan China sehingga rupiah sempat jatuh cukup dalam.

Mengapa ? karena inflasi berhasil dijaga dengan baik Pemerintah dan BI. Pemerintah mampu menahan inflasi di bawah 4% selama 4 tahun berturut-turut. Realisasi inflasi pada 2015 tercatat di level 3,35%, lalu pada 2016 3,02%, 2017 3,61% dan 2018 ditargetkan 3,18%. Ini pertama kali dalam sejarah dimana inflasi kita dibawah 4%.

Hasil lainnya seperti audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menunjukkan pertanggungjawaban pengelolaan uang rakyat dari tahun ketahun semakin membaik.

Pada tahun 2007 hanya 15 kementerian dan lembaga yang dapat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), sementara pada 2017 ada 80 kementerian dan lembaga yang dapat WTP. Artinya tata kelola pertanggungjawaban uang rakyat semakin membaik.

Index Persepsi korupsi ( CPI index ) semakin membaik yaitu dengan skor 37. Jauh lebih baik dari era sebelumnya atau peringkat ketiga di ASEAN. Selain itu, berdasarkan catatan The Heritage Foundation, Tingkat Kemandirian ekonomi RI (Index of Economic freedom) meningkat,

Tahun 2014 Indonesia berada pada peringkat 100 dunia dengan nilai 58,5, saat ini (tahun 2018) menjadi peringkat 69 dengan nilai 64,2.

Kata kuncinya adalah tekanan ekonomi global, perang dagang, penurunan harga komoditas dan penerimaan negara.

Dalam keadaan seperti itu, transformasi daya saing dan recovery ekonomi dilakukan dengan hasil seperti cerita di atas. Kalau dengan kondisi uang berlebih, semua orang bisa melakukan.

Tetapi dengan keterbatasan kondisi yang ada namun bisa melakukan trasnformasi sekaligus memperbaiki cash flow keuangan, ini yang tidak semua orang bisa. Ini yang saya maksud mengapa Jokowi bisa disebut CEO terbaik yang pernah ada. Seorang pemimpi sekaligus pelaku!!!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rustam Agus
Terkini