Penambahan Kuota PBI Bakal Kurangi Defisit BPJS Kesehatan

Bisnis.com,13 Jan 2019, 23:41 WIB
Penulis: Dika Irawan
Menteri Kesehatan Nila Moeloek (kiri) bersama Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris bersiap menyampaikan keterangan pers, di Jakarta, Senin (7/1/2019)./ANTARA-Dhemas Reviyanto

Bisnis.com, JAKARTA – BPJS Watch menilai penambahan kuota peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 4,4 juta jiwa berpotensi menambah pendapatan iuran bagi dana jaminan sosial BPJS Kesehatan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, penambahan jumlah kuota ini berpotensi menambah dana sebesar Rp1,2 triliun. Angka tersebut muncul dari kalkulasinya, yaitu jumlah peserta 4,4 juta jiwa dikalikan iuran PBI Rp23.000 dan dikalikan 12 bulan.

“Hal ini baik, sehingga defisit 2019 bisa dikurangi,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.

Walaupun begitu, dia menuturkan, potensi pendapatan ini juga bakal ditentukan oleh pendataan dan pendaftaran rakyat miskin. Berdasarkan catatannya, kendati kuota PBI selama ini 92,4 juta, tetapi yang riil didaftarkan adalah 92,3 juta jiwa. Dengan demikian, sambungnya, masih terdapat 100.000 –an belum PBI belum terdaftar.

“Bila proses pendaftaran masih seperti saat ini dan belum sepenuhnya mengikuti proses di PP No.76 /2015 [Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan] maka akan ada proses birokrasi yang menghambat rakyat miskin menjadi peserta PBI. Rakyat miskin yang sudah direkomendasikan oleh Kemensos sebagai peserta PBI belum otomatis langsung jadi peserta PBI oleh BPJS Kesehatan pada saat itu juga,” katanya.

Selain itu, Timboel juga menyoroti soal distribusi Kartu Indonesia Sehat untuk peserta PBI. Dia mengklaim belum sepenuhnya peserta PBI menerima KIS. Dia menduga, masalah ini terjadi lantaran proses pencetakan dan pendistribusian kartu tersebut masih dilakukan secara bertahap.

Menurutnya, bila kartu KIS belum diterima oleh rakyat miskin, maka dipastikan mereka yang secara administratif terdaftar tidak mengetahui sebagai peserta JKN dari unsur PBI.

“Hal ini salah satu faktor yang mendukung fakta bahwa utilitas JKN oleh peserta PBI masih relatif rendah.Memang agak aneh, JKN sudah berjalan 5 tahun tapi untuk mencetak dan mendistribusikan kartu KIS kok masih belum selesai,” katanya.

Oleh sebab itu, kata Timboel, BPJS Watch mendorong BPJS Kesehatan agar fokus menyegerakan pencetakan dan pendustribusian kartu KIS bagi rakyat miskin. Setidaknya, dalam 6 bulan kartu tersebut sudah selesai dicetak dan didistribusikan.

Sisi lainnya, Timboel menilai proses verifikasi pendataan PBI juga mesti difokuskan oleh Pemerintah. Menurutnya, proses verifikasi dan pendataan belum maksimal. Hal tersebut tercermin dari masih adanya kartu KIS yang tidak sesuai dengan data peserta PBI. “Selain itu juga masih ada orang mampu yang menjadi peserta PBI,” katanya.

Di samping itu, Pemerintah sebaiknya tidak hanya meningkatkan dari sisi kuantitas PBI, melainkan juga diimbangi dengan kualitas pelayanan kesehatan bagi mereka. Misalnya, peserta PBI mendapatkan bantuan transportasi dan akomodasi ketika harus dirujuk ke rumah sakit yang jauh dari tempat tinggalnya.

“Selama ini pemerintah pusat dan BPJS Kesehatan hanya mengandalkan dan menyerahkan masalah ini ke masing-masing pemda. Faktanya masih banyak pemda yang tidak peduli atas masalah tranportasi dan akomodasi rakyat miskin yang dirujuk ke luar kota,” katanya.

Meski begitu, BPJS Watch menyambut baik langkah Pemerintah menambah kuota PBI. Timboel mengatakan, kabar ini harus disosialisasikan dan dipublikasikan, sehingga rakyat kurang mampu dapat mengakses layanan kesehatan melalui JKN.

Timboel menambahkan, JKN telah memberikan banyak manfaat bagi rakyat kurang mampu. Namun, katanya, pihaknya mengharapkan permasalahan-permasalahan terkait JKN ini dapat diselesaikan secara sistemik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Miftahul Ulum
Terkini