Bisnis.com, JAKARTA — Bermekarannya bunga simpanan perbankan menjadi santapan nikmat bagi para ‘petani bunga’, yakni mereka yang secara agresif memburu bunga paling tinggi untuk mendapatkan keuntungan. Mereka rela berpindah-pindah dari satu bank ke bank lainnya demi mencari paket penawaran terbaik.
Sepanjang 2018, suku bunga acuan Bank Indonesia terkerek 175 bps menjadi 6%. Bank pun merespons dengan menaikkan suku bunga simpanan, khususnya deposito, untuk menarik hati para deposan.
Bagi nasabah yang memiliki dana besar, tren kenaikan suku bunga acuan menjadi momentum meraih untung. Para ‘petani bunga’ tersebut leluasa memetik manisnya bunga simpanan yang tengah bermekaran.
Ita, seorang pegawai di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memanfaatkan kondisi tersebut untuk memanen bunga lebih tinggi. Tahun lalu dia sempat memindahkan simpanan despositonya kepada bank yang menawarkan bunga lebih menarik.
Ita menuturkan, saat ini dia memiliki dua rekening deposito di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan PT Bank CIMB Niaga Tbk. Masing-masing rekening tersebut diisi dengan nominal sekitar Rp500 juta.
Perempuan yang bekerja di perusahaan BUMN bidang minyak dan gas tersebut mengaku selalu mengambil tenor 3 bulan. Setiap mendekati jatuh tempo, dia mulai mengambil ancang-ancang untuk memindahkan dananya ke bank dengan tawaran yang lebih menggiurkan.
Sebelum menaruh deposito di dua bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV tersebut, Ita menyimpan dananya di bank kelas menengah besar seperti PT Bank KEB Hana Indonesia dan PT Bank DBS Indonesia. Pemindahan dana, lanjutnya, didorong oleh sejumlah alasan.
“Selain karena alasan bunga tinggi dan banyak hadiah yang ditawarkan, cara pendekatan juga memengaruhi pemilihan bank. Kalau yang menawarkan terlihat tepercaya, tentu menjadi nilai plus,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Hadiah langsung, menurutnya juga menjadi daya tawar utama berinvestasi dalam deposito. Ita mendapatkan berbagai hadiah dari mulai cash back langsung, voucher makan, hingga undangan seminar mengenai finansial di hotel bintang lima.
Selain itu, dia menyatakan bahwa keputusannya juga dipengaruhi oleh kesediaan bank dalam membantunya memenuhi berbagai persyaratan. Di tengah kesibukannya sebagai asisten manager di perusahaan, dia tak mau repot mengunjungi bank untuk menyelesaikan hal itu.
“Jadi segala surat mereka yang urus dan kirim kurir ke kantor saya, jadi saya tinggal tanda tangan. Begitupun juga saat bunga sedang tinggi, mereka akan beritahu dan cairkan uang. Jadi saya cari yang memudahkan dan melayani,” jelasnya.
Sepanjang tahun lalu, beberapa utusan bank lain sempat membujuk Ita untuk memindahkan dananya ke bank tersebut. Namun, pada akhirnya dia tetap memilih bank-bank besar dengan reputasi yang sudah tepercaya.
“Saya hanya memilih bank-bank ternama yang meyakinkan, pernah kok ditawari bank yang tidak jelas namanya, ya akhirnya saya tolak,” katanya.
Tak hanya nasabah ritel, moementum kenaikan bunga juga dimanfaatkan oleh nasabah institusional kelas kakap dengan dana melimpah. Salah satunya adalah Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Sepanjang 2018, deposito menjadi salah satu instrumen investasi utama BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu tercermin dari portofolio deposito lembaga tersebut, yang meningkat 12,41% dibandingkan tahun sebelumnya.
“Pada 2018 portofolio deposito BPJS Ketenagakerjaan mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp5,5 triliun, atau naik 12,41% dari Rp38,7 triliun pada akhir 2017, menjadi Rp44,3 triliun,” kata Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga, Irvansyah Utoh Banja kepada Bisnis, belum lama ini.
Dia menjelaskan tren kenaikan suku bunga menjadi aspek fundamental bagi BPJS Ketenagakerjaan dalam berinvestasi di deposito. Kenaikan suku bunga acuan sebanyak enam kali sepanjang tahun lalu, diakui sebagai salah satu alasan menariknya deposito.
Selain itu, Utoh memaparkan bahwa aspek teknis menjadi pertimbangan lainnya. Terdapat beberapa kriteria yang ditetapkan dalam penilaian internal seperti kinerja bank terkait, serta kesesuaian aturan dengan batasan yang ada.
“Memberikan rate bunga kompetitif, masih dapat dilakukan penempatan sesuai batasan yang ada, penempatan dana sesuai program yang ada, dan aspek resiprokal, seperti kerja sama peningkatan kepesertaan dan pelayanan,” katanya.
Menurut salah satu sumber Bisnis, BPJS Ketenagakerjaan merupakan salah satu institusi yang cukup pandai memanfaatkan pengetatan likuiditas perbankan demi mendapatkan bunga tinggi. Bank-bank daerah menjadi salah satu target empuk.
Pasalnya, tanpa pengetatan likuiditas secara industri pun, bank daerah selalu kelimpungan mencari dana pada akhir tahun. Penyebab utamanya adalah ditariknya dana pemerintah daerah untuk menjalankan proyek yang dimulai menjelang akhir tahun.
“Seperti BPJS Ketenagakerjaan itu gila-gilaan, mereka bisa minta bunga sampai 9%—10%. Biasanya terjadi rate auction di antara bank-bank daerah,” katanya.
Berdasarkan data per November 2018, pergerakan suku bunga deposito khusus perbankan masih menunjukkan adanya perang bunga di antara perbankan. Secara berurutan, suku bunga deposito khusus BUKU IV, III, II, dan I adalah sebesar 7,29%, 7,73%, 7,36%, dan 7,31%.
Adapun, secara rata-rata suku bunga khusus deposito industri perbankan mencapai 7,44%. Dalam kondisi normal, suku bunga deposito khusus BUKU IV dan III, lebih rendah dari BUKU I dan II. Dengan demikian, praktis hanya BUKU III yang masih tersulut panasnya persaingan bunga.
Berdasarkan data terbaru yang diterima Bisnis, kondisi tak jauh berbeda juga terjadi hingga 8 Desember 2018. Secara berurutan, suku bunga deposito khusus BUKU IV, III, II, dan I masing-masing tercatat senilai 7,14%, 7,49%, 7,18% dan 7,13%.
Bunga deposito khusus biasanya diberikan kepada nasabah institusi dengan dana yang jauh lebih melimpah. Besaran dana minimum umumnya bervariasi dan bergantung pada kondisi tertentu. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. misalnya, menetapkan minimum dana sebesar Rp30 miliar untuk dapat diberikan bunga khusus.
Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko mengatakan bahwa bagi bank, sebenarnya biaya dana sangat dipengaruhi oleh jumlah dana nasabah. Murah atau mahalnya dana tidak bergantung kepada jenis nasabah.
“Semakin banyak dananya semakin kuat bargaining position-nya. Memang biasanya nasabah institusi dananya lebih besar, sehingga pada umumnya dana nasabah ritel lebih murah,” katanya.
Iman mengatakan, dengan kondisi tersebut BTN ingin lebih fokus menggalang dana dari nasabah ritel ketimbang nasabah institusional. Meski jumlahnya tak sebesar nasabah institusional, namun beban bunga yang ditanggung perseroan akan lebih rendah.
Dia mengatakan, persaingan bunga masih dapat berlanjut selama masyarakat masih mencari imbal hasil yang lebih tinggi. BUKU III seperti BTN tak dapat menghindari persaingan bunga karena salah cara yang paling mungkin dilakukan adalah mengerek bunga hingga keseimbangan baru terbentuk.
Ketatnya likuiditas perbankan terus menyulut bara api persaingan bunga. Namun, di atas panasnya persaingan tersebut, ada para petani bunga yang tengah menikmati nikmatnya bunga simpanan yang bermekaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel