Skala Keekonomian Hambat Penghiliran Batu Bara

Bisnis.com,23 Jan 2019, 10:09 WIB
Penulis: Lucky Leonard
Operator mengoperasikan alat berat di terminal batu bara Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatra Barat, Rabu (9/1/2019)./ANTARA-Iggoy el Fitra

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berkeinginan ada peningkatan nilai tambah dari batu bara. Padahal, selama ini batu bara menjadi bahan bakar pembangkit listrik termurah dibandingkan dengan jenis sumber energi lainnya, seperti minyak, gas bumi, dan energi terbarukan.

Pelaku usaha biasanya melihat dari sisi keuntungan. Ketika nilai tambah dari penghiliran batu bara tidak terlalu besar, mereka ragu untuk memulainya.

Kendati terus mendorong penghiliran batu bara, dukungan pemerintah terhadap peningkatan nilai tambah batu bara melalui regulasi yang bisa mengatur pelaksanaannya secara detail masih belum tampak hingga saat ini.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan penghiliran batu bara sudah diatur dalam dalam level undang-undang dan peraturan pemerintah. Namun, dia mengakui belum ada kepastian terkait teknis pelaksanaannya.

"Itu masih belum firm. Hilirisasi sudah diatur, tapi masalahnya di pelaksanaanya," ujarnya di kantor Kementerian ESDM, Selasa (22/1).

Adapun dalam Peraturan Pemerintah  77/2014, baru diatur mengenai jenis-jenis  pengolahan batu bara untuk peningkatan nilai tambah yaitu peningkatan mutu (upgrading), pembuatan briket (briquetting), pembuatan kokas (cokes making), pencairan (liquefaction), gasifikasi (gasification), dan coal slurry/coal water mixture.

Bambang mengatakan banyak aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan aturan tentang pelaksanaan penghiliran batu bara tersebut. Salah satunya mengenai kewenangan masing-masing direktorat jenderal.

Pasalnya, penghiliran batu bara tersebut bisa menghasilkan produk yang jauh berbeda dari batu bara seperti gasifikasi maupun pencairan batu bara. Jenis tambang batu baranya pun akan jadi pertimbangan.

"Tergantung nanti jadinya seperti apa. Misal gasifikasi transisi ke migasnya kapan. Kalau briket atau upgrading gak mungkin ke migas," tuturnya.

Menurutnya, jenis penghiliran seperti gasifikasi memang masih belum diminati. Pasalnya, sejauh ini belum ada proyek yang sudah terbukti ekonomis.

Meskipun belum ada aturan yang detail, baru baru ini PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) bersama PT Pertamina (Persero) dan Air Products and Chemicals Inc. menandatangani pokok-pokok perjanjian pembentukan perusahaan patungan (joint venture/JV) untuk proyek gasifikasi batu bara dari tambang PTBA di Peranap, Riau. Proyek tersebut rencananya memiliki kapasitas produksi 1,4 juta ton DME dengan kebutuhan batu bara sebanyak 9,2 juta ton per tahun.

Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengungkapkan adanya penghiliran batu bara  yang  menghasilkan DME tersebut bisa menjadi substitusi impor LPG, sehingga dapat menghemat devisi negara secara langsung.

"Hilirisasi yang dilakukan PTBA ini diperkuat dengan total sumber daya batubara sebesar 8,3 miliar ton dan total cadangan batubara sebesar 3,3 miliar ton," ujarnya.

Proyek serupa pun sudah dicanangkan oleh PTBA dan Pertamina pada akhir 2017 dengan menggandeng PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan setelah beberapa kali pertemuan yang sudah dilakukan dengan Direktorat Jenderal  Minerba kementerian ESDM, PTBA mengharapkan pemerintah dapat memberikan fasilitas pengurangan dan atau penghilangan tarif royalti batu bara kalori rendah khusus bagi program hilirisasi batubara tersebut hingga 0%.

"Hal ini masih dalam taraf pembahasan antara pemerintah dan pelaku usaha. Terutama karena PTBA sudah menandatangani kerja sama dengan beberapa perusahaan seperti Pertamina, Petrokimia dan Chandra asri," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sepudin Zuhri
Terkini