Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas mencatat akses masyarakat terhadap produk lembaga keuangan atau inklusi keuangan meningkat dari tahun ke tahun. Penetrasi perbankan dinilai jauh lebih baik dalam hal menawarkan layanan finansial di berbagai wilayah Indonesia.
Satu hal yang menjadi indikator adalah penyebaran kantor cabang perbankan yang mulai merata. Mengutip data Bank Indonesia pada 2012 Jawa dan Kalimantan memiliki jumlah kantor cabang per 100.000 penduduk dewasa terbanyak.
Sumatra, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Maluku dan Papua jauh tertinggal pada periode tersebut. Jumlah kantor cabang per 100.000 penduduk dewasa di lima wilayah ini pun berada di bawah rata-rata nasional.
Per November 2018, Kalimantan masih menjadi yang tertinggi meninggalkan yang lain. Akan tetapi, lima wilayah yang sebelumnya tertinggal dalam hal ketersediaan akses lembaga keuangan tidak lagi berbeda jauh dari Jawa.
Bahkan, hanya tersisa Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki jumlah kantor cabang per 100.000 penduduk dewasa di bawah rata-rata nasional.
Selain itu, layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif atau akrab disebut Laku Pandai tumbuh signifikan dalam 3 tahun terakhir. Program ini menyediakan layanan perbankan atau produk keuangan lain melalui kerja sama dengan agen yang didukung oleh pemanfaatan teknologi informasi.
Produk keuangan yang dijual lewat agen Laku Pandai merupakan produk sederhana dan mudah dipahami. Tentu harapannya untuk mendorong penetrasi pada masyarakat yang belum bisa menjangkau layanan keuangan.
Produk yang disediakan antara lain adalah tabungan dengan karakteristik basic saving account (BSA), kredit atau pembiayaan mikro, hingga asuransi mikro.
Sejak akhir 2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim telah menyebarkan agen di seluruh provinsi di Indonesia. Hampir seluruh kabupaten atau kota di Tanah Air telah memiliki agen Laku Pandai.
Secara kuantitas, per September 2018 jumlahnya naik lebih dari 20 kali lipat dibandingkan dengan 2015, atau menjadi 804.308 agen.
Bank yang menjadi penyelenggara pun mulai beragam. Saat pertama kali diluncurkan hanya bank pelat merah dan satu bank swasta yang terlibat. Hingga kuartal III/2018 ada sebanyak 27 bank umum konvensional dan dua bank umum syariah yang berpartisipasi.
Upaya tersebut telah berbuah positif. Hal itu terlihat dari indeks inklusi keuangan naik dari posisi 59% pada 6 tahun lalu menjadi 69% pada 2017. Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 menargetkan inklusi keuangan pada 2019 mencapai 75%.
Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah mencatat inklusi keuangan masih terfokus kepada penyerapan dana pihak ketiga (DPK). Penyaluran kredit masih menjadi pekerjaan rumah.
“Saya melihat di sini kelemahan konsep inklusi keuangan yang dirintis oleh BI dan terus dikembangkan oleh OJK. Melalui inklusi keuangan masyarakat didorong untuk menabung. Tapi penyaluran kredit masih sangat terbatas, khususnya di luar Jawa,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
DISTRIBUSI KREDIT
Piter menilai, pertumbuhan inklusi keuangan belum sejalan dengan pemerataan penyerapan kredit, karena fungsi intermediasi perbankan masih didominasi oleh Jawa. Kontribusi wilayah lain cenderung stagnan, bahkan beberapa malah turun.
Per November 2018, Jawa menyumbang 76,1% kepada total portofolio pembiayaan perbankan. Angka itu menguat dari 3 tahun sebelumnya yang berada pada kisaran 75%.
Menurut Piter, seharusnya titik berat inklusi keuangan adalah tingkat penyerapan kredit oleh masyarakat. “Tidak cukup dengan peningkatan nasabah tabungan. Harus diiringi dengan peningkatan nasabah kredit yang tersebar di pedesaan serta di luar Jawa,” tambahnya.
Menurut Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Suprajarto, kendala utama menggenjot kredit di luar Jawa adalah stagnasi skala produksi. Perseroan pun dalam hal ini tengah berupaya mendorong ekosistem wirausaha yang di dalamnya tersedia offtaker atau perusahaan yang menyerap hasil produksi.
Sebanyak lebih dari 400 kantor wilayah (kanwil) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia akan dimanfaatkan. “Saya jatah satu kanwil lima wirausaha tani dengan offtaker,” katanya.
Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Boedi Armanto mengakui bahwa bukan perkara mudah meratakan penyerapan kredit ke seluruh wilayah Indonesia. Jawa terlanjur melesat jauh dalam hal infrastruktur dibandingkan dengan wilayah lain.
Sementara itu, permintaan kredit erat terkait dengan bisnis yang pertumbuhannya sensitif terhadap kondisi infrastruktur. Agen Laku Pandai, menurutnya, adalah satu pintu masuk.
Dia memastikan, OJK akan berkolaborasi dengan Layanan Keuangan Digital (LKD) di bawah suoervisi Bank Indonesia untuk penetrasi ke luar Jawa. “Pada berjalannya waktu kami tidak hanya perkenalkan tabungan atau deposito, tapi juga produk lain terutama kredit,” katanya.
Tahun ini tentu menjadi pertaruhan otoritas dan pelaku industri untuk mewujudkan inklusi keuangan sebesar 75%. Namun, lebih utama adalah pemerataan dalam penyaluran kredit. Hal itu untuk menepis fungsi perbankan di luar Jawa hanya sebagai penyerap dana nasabah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel