Adab vs Marketing: Pelajaran dari CEO Bukalapak Achmad Zaky

Bisnis.com,16 Feb 2019, 19:33 WIB
Penulis: Ana Mustamin
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Founder dan CEO Bukalapak Achmad Zaky meninjau stan warung mitra Bukalapak saat Perayaan HUT ke-9 Bukalapak di Jakarta, Kamis (10/1/2019)./ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA -- Berawal dari CEO Bukalapak yang jarinya keseleo, dunia jagad maya mendadak gaduh oleh tagar #uninstallbukalapak.

Achmad Zaky menyoal dana yang digelontorkan pemerintah sangat minim untuk R&D. Karena itu, Zaky menilai omong kosong industri 4.0 bisa berkembang di Indonesia.

Sebenarnya tidak ada yang aneh pada cuitan itu. Ini pemikiran kritis. Sayangnya, Zaky melakukan dua kesalahan fatal: pertama, dia mengutip data yang sudah kedaluwarsa; kedua, dia menutup cuitannya dengan kalimat “mudah-mudahan presiden baru bisa naikin”.

Kata presiden baru ini jelas konotasinya merupakan lawan dari presiden lama. Atau, dengan gamblang Zaky menginginkan Presiden Jokowi diganti. Pernyataan ini sontak memicu uninstall Bukalapak dari pendukung Pak Jokowi.

Sampai di sini, para pengamat yang berusaha ‘netral’ akan menilai, mereka yang melakukan uninstall Bukalapak--yang notabene pendukung Presiden Jokowi--bertindak emosional. Padahal, tindakan ini tidak bisa dilihat berdiri sendiri. Tindakan ini tidak lepas dari konteks peristiwa beberapa waktu lalu, saat Presiden Jokowi menghadiri ulang tahun Bukalapak, memujinya--yang dengan sendirinya memberikan endorse luar biasa terhadap sebuah perusahaan startup.

Berapa juta perusahaan di Indonesia dan berapa biji perusahaan yang beruntung ulang tahunnya dihadiri dan mendapatkan endorse seorang presiden?

Ini bukan soal pilihan demokrasi. Juga bukan soal balas budi seorang Achmad Zaky. Sah-sah saja dia memiliki preferensi pribadi dalam hal politik.

Tapi, jika Zaky memiliki kecerdasan emosional seorang pebisnis, seharusnya dia paham bagaimana sebaiknya beradab. Bagaimana sebaiknya mengungkapkan ekspresi: apa yang pantas dan apa yang tidak pantas.

Di Indonesia, kita sangat mengenal tenggang rasa, bagaimana menjaga perasaan. Ungkapan “menusuk dari belakang”, “kacang lupa kulitnya”, “tidak tahu berterima kasih”, adalah ungkapan-ungkapan yang lahir dari perasaan terluka, perasaan terkhianati. Itu yang dirasakan para pendukung Jokowi.

Psikologi Pasar

Sebagai pebisnis, Zaky tampaknya tidak memahami apa yang memicu sentimen pasar. Psikologi pasar penting untuk sebuah kerja marketing.

Apa yang membedakan aksi boikot Bukalapak dan produk Sari Roti tempo hari? Jawabannya sensitivitas pasar dikaitkan dengan brand. Sari Roti adalah product brand, sedangkan Bukalapak adalah corporate brand--hanya sebuah toko online.

Dalam memilih consumer goods, pertimbangan memilih produk lebih mengacu pada faktor-faktor preferensi personal: pengalaman konsumen itu sendiri dan akan lebih sulit lagi meninggalkannya jika produk tidak memiliki pesaing di pasar. Mau enggak mau konsumen akan loyal. Itu yang terjadi pada Sari Roti. Tidak demikian dengan Bukalapak.

Sepanjang toko lain bisa menyajikan produk sama yang kita inginkan, dengan layanan yang lebih memuaskan, dengan orang-orang yang tidak membuat kita terluka, mengapa harus mempertahankan loyalitas terhadap toko tertentu? Pasar biasanya sensitif terhadap corporate brand--dan memerlukan pertimbangan panjang apakah digunakan atau ditinggalkan, bila berurusan dengan masalah keuangan (industri perbankan, asuransi, investasi, multifinance, dll), atau industri-industri yang tindakan manajemen/korporasinya akan langsung menyentuh jantung kepentingan konsumen--misalnya perusahaan yang merusak lingkungan.

Untuk kasus belanja di toko, sangat rasional dan tidak membutuhkan pertimbangan panjang pindah ke toko sebelah, jika pemilik toko pertama membuat kita kurang nyaman. Ini bukan soal politik. Ini menyangkut loyalitas pelanggan. P

ertimbangan terakhir ini tidak melulu rasional. “Jika kalian tidak menyukai bapakku, menusuknya dari belakang, lalu buat apa saya belanja di tokomu? Masih banyak toko lain.” Begitu kira-kira.

Penyerangan Brutal

Sehari setelah aksi boikot ke Bukalapak, jagad Twitter kembali gaduh dengan tagar #uninstalljokowi dan #ShutDownJokowi. Tagar ini bahkan sempat menjadi trending topic dan membuat netizen internasional bingung.

Buat saya, presiden yang baik ini mendapat serangan dua hari berturut-turut untuk sebuah peristiwa yang bahkan dia tidak melakukan tindakan apa pun, ini sungguh sadis. Setelah dicuit bos Bukalapak, dia diserang pembenci yang notabene pendukung kubu penantang patahana sebagai bentuk balas dendam terhadap aksi pendukung Jokowi.

Apa salah pak Jokowi dalam kasus Bukalapak? Mengapa beliau secara keji dijadikan bulan-bulanan dan diperlakukan seperti robot yang bisa di-shutdown seenaknya?

Kembali ke soal adab, jika mereka yang memboikot Bukalapak dipicu oleh persoalan adab bos Bukalapak; maka aksi uninstall pendukung pak Prabowo ini tampaknya memang karena sebagian dari kita sudah kehilangan adab--tertutup kebencian dan ambisi yang berkarat.

Dari aspek komunikasi pemasaran, apa yang ditabur CEO Bukalapak akan dituai seketika: dia kehilangan ribuan bahkan mungkin jutaan pelanggan. Sementara itu, apa yang dituai pendukung Pak Prabowo dengan #uninstalljokowi?

Saya yakin, pendukung Pak Jokowi makin solid melindungi Pak Jokowi. Bisa jadi, mereka yang masih menjadi swing voter dan masih menjunjung tinggi adab--kesopanan, tata krama, dll, akan semakin meninggalkan Pak Prabowo.

(Ana Mustamin, pemerhati komunikasi pemasaran)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Margrit
Terkini