BCA: Kredit Infrastruktur Ibarat Menikmati Hidangan Pesta Pernikahan

Bisnis.com,19 Feb 2019, 23:54 WIB
Penulis: Ilman A. Sudarwan

Bisnis.com, JAKARTA—Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. Jahja Setiaatmadja mengibaratkan penyaluran kredit sindikasi seperti menikmati hidangan pada pesta pernikahan. Tak bisa serakah, harus memilih hidangan terbaik.

Jahja menuturkan, perbankan akan terbatas pada kemampuan pendanaan untuk memberikan kredit infrastruktur. Maka dari itu, ibarat memilih makanan, perseroan selalu mempertimbangkan matang-matang sebuah proyek yang akan didanai.

“Kalau kita [bank] masuk ke infrastruktur, basic-nya itu harus jangka panjang, dan diharapkan bunganya lebih murah, padahal bagi bank semakin panjang tenornya itu semakin mahal source of fund-nya,” ujarnya di Jakarta, Selasa (19/2/2019).

Dia menjelaskan karakteristik pendanaan perbankan di Indonesia yang mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) merupakan dana jangka pendek. Secara teori, deposito memang berkarakteristik jangka panjang, tetapi pada faktanya tidak banyak deposito yang bertahan lebih dari 1 tahun.

Menurutnya, sebuah proyek infrastruktur perlu memiliki potensi komersial yang baik untuk mendapatkan pendanaan. Kreditur tidak akan selamanya bergantung pada pendanaan dari bank, dan bisa mencari alternatif lain dari pasar modal.

Dengan cara itu, semestinya pada tahapan tertentu kreditur dapat mencari sumber pendanaan lain baik dengan menerbitkan obligasi ataupun melakukan equity raising yang dikenal dengan window exit dalam dunia perbankan.

“Tapi banyak yang sulit keluar dari window, jadi ya tetap saja mengharapkan financing dari bank. saya tanya teman dari SMI [PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)] bisa tenor 25 tahun kami tidak sanggup, kami banyak keterbatasan untuk masuk financing infrastruktur,” jelasnya.

Dari segi risiko, dia membagi proyek infrastruktur ke dalam tiga kategori, yakni greenfield, brownfield, dan operasional. Ketiganya ditentukan berdasarkan tingkat risiko dan imbal hasil atau return yang akan didapat oleh bank.

Greenfield adalah proyek dengan imbal hasil tinggi dan risiko tinggi. Proyek dalam kategori ini masih dalam tahap planning menuju konstruksi. Menurutnya, proyek serupa ini cocok untuk bank asing dan bank BUMN.

Adapun, brownfield adalah proyek-proyek dengan risiko dan imbal hasil menengah. Proyek dalam kategori ini adalah proyek yang sudah melalui pembebasan lahan dan masuk ke proses konstruksi. Proyek ini menurutnya cocok untuk perusahaan swasta nonbank dengan pendanaan melalui obligasi pemilik proyek ataupun obligasi investor. Bank swasta, bank asing, dan bank BUMN juga dapat masuk ke dalam proyek tersebut melalui pendanaan dari pinjaman.

Terakhir, operasional adalah proyek yang sudah beroperasi dan memiliki aliran pendapatan dari penggunaan yang kontinu dari masyarakat. Proyek dalam kategori ini dinilai memiliki imbal hasil dan risiko yang minim bagi bank.

Menurutnya, bank maupun non-bank swasta dapat terlibat dalam pembiayaan ini melalui obligasi pemilik proyek dan produk sekuritisasi. Bank swasta, bank BUMN, dan bank asing juga dapat ikut pembiayaan melalui pendanaan dari pinjaman.

 

Disamping penilaian risiko terhadap proyek infrastruktur, perbankan memiliki tantangan tambahan dari sisi likuiditas yang cenderung mengetat. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga yang sudah mencapai kisaran 92% menurutnya perlu menjadi tanda waspada bagi perbankan.

Dia mengatakan, pereroan memilih proyek-proyek yang aman dan menguntungkan seperti proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT). Menurutnya, proyek tersebut menjadi menarik dengan jaminan dan subsidi yang dijanjikan pemerintah.

“Memang hitungan bisnis biasa itu tidak akan feasible karena elevated, cost-nya mahal investasi tinggi, dan itu untuk transportasi publik yang tidak bsia dengan harga yang mahal. Maka harus ada jaminan pemerintah, karena kalau tidak disubsidi targetnya terlalu mahal.”

Dia mengatakan sepanjang 2018, total penyaluran kredit infrastruktur BCA tercatat 32% secara tahunan. Lonjakan pertumbuhan tertinggi dicatatkan infrastruktur instalasi air sebesar 1637% dan infrastruktur bandara sebesar 62%.

“Untuk Telco kami juga cukup besar Rp12,5 triliun—Rp15 triliun, oil and gas juga ada, kami pilih yang enak-enak yang kami pilih untuk biayai,” tambahnya.

Namun demikian, dia meski mengatakan penyaluran kredit infrastruktur terus meningkat, risiko yang dihadapi juga cukup besar. Pasalnya, potensi kegagalan atau perubahan ekonomi global dapat mengancam keberhasilan sebuah proyek infrastruktur.

“Risikonya banyak, ini yang harus dihadapi, kalau bagi awam mungkin tidak melihat tahapan-tahapan dalam proyek ini, awalnya yang justru yang harus dipersiapkan, konsturksinya kalau sampai gagal seperit apa, kalau sampai tiba-tiba kurs berubah,” jelasnya.

Selain berbagai faktor tersebut, tren peningkatan suku bunga menurutnya perlu menjadi perhatian lain. Menurutnya, kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat sangat menentukan dalam pembiayaan infrastruktur ke depan.

“Suku bunga trennya meningkat tapi untuk The Fed kelihatannya bertobat yang tadinya mau naik 3 kali tapi tidak jadi, kalau itu turun buat kita akan lebih baik dan pergerakan suku bunga bisa lebih terkendali,” ujarnya.

Dalam pandangan Jahja, perbankan harus selalu berhati-hati dan mawas diri dalam menyalurkan kredit infrastruktur. Meski menarik dengan jumlah yang besar dan risiko yang terukur, perbankan perlu melihat kemampuan dan keterbatasannya masing-masing.

Ibarat mendatangi sebuah resepsi pernikahan, tidak semua hidangan bisa dilumat begitu saja. Perlu dipertimbangkan kemampuan perut, serta pilihan hidangan terbaik yang tidak akan membuat sesal di akhir.

“Kalau ada pilihan kambing guling tapi alot tidak kami makan. Yang empuk ada kecapnya, pedas, ada cabe rawitnya, itu yang kami pilih,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sutarno
Terkini