OPINI : Urun Biaya dan Selisih Biaya, Solusi Bagi JKN?

Bisnis.com,21 Feb 2019, 12:50 WIB
Penulis: Felix Wisnu Handoyo, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI
Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih diwarnai persoalan yang sama dari tahun ke tahun, sejak lembaga reinkarnasi PT Askes itu lahir pada 1 Januari 2014. Persoalan itu adalah mismatch pengelolaan dana jaminan sosial, di mana pendapatan BPJS, lewat iuran peserta, tak sebanding dengan besarnya klaim yang harus dibayar. Defisit yang dialami terus melebar dari tahun ke tahun.

Bisnis.com, JAKARTA – Kali ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) benar-benar panik dalam menekan defisit BPJS Kesehatan. Pasalnya, dugaan membengkaknya klaim kian melebar pada tahun ini dibandingkan dengan Rp16,5 triliun pada 2018.

Skenario mulai dari pengurangan manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan tampaknya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Saat ini pemerintah melalui Kemenkes menerbitkan aturan teknis mengenai urun biaya dan selisih biaya kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kepanikan tampak mulai dirasakan oleh Kemenkes dan BPJS Kesehatan dalam menghadapi defisit yang berpotensi melebar. Kendati undang-undang sistem jaminan sosial nasional (UU SJSN) membuka peluang adanya urun biaya, pelaksanaan urun biaya harus berdasarkan jenis pelayanan yang menimbulkan penyalah-gunaan pelayanan.

Permenkes No. 51/2018 telah mengatur urun biaya apabila masyarakat mendapatkan pelayanan rawat jalan atau inap berdasarkan kelas rumah sakit dan ditetapkan maksimum nominal untuk setiap pelayanan. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dibebaskan dari pengenaan urun biaya ketika mendapatkan pelayanan. Namun, implementasi aturan tersebut masih menunggu kajian jenis pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan.

Urun biaya memang belum diberlakukan bagi peserta JKN, khususnya untuk peserta non-PBI. Namun, pelaksanaan urun biaya berpotensi mengurangi kunjungan masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan. Pasalnya, mereka yang biasanya mendapatkan pelayanan secara gratis harus bersedia membayar sebagai bentuk urun biaya.

Disisi lain, keberadaan JKN yang seharusnya menjadi angin surga bagi masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan, baik peserta PBI maupun non-PBI. Apabila aturan tersebut diterapkan, tidak sepenuhnya sesuai harapan masyarakat.

Dalam Model Grossman disebutkan akses kepada fasilitas kesehatan dan perilaku hidup masyarakat memengaruhi tingkat kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, akses layanan kesehatan menjadi salah satu input yang ikut menentukan tingkat kesehatan masyarakat. Adanya tambahan biaya dalam mengakses kesehatan menjadi hal yang memberatkan, khususnya bagi kelas menengah.

Masyarakat kelas menengah bisa dikatakan tidak tergolong dalam kelompok PBI tetapi juga tidak dikatakan kelompok yang mampu secara finansial sepenuhnya. Kelompok PBI sebanyak 92.4 juta jiwa (46,13% dari peserta BPJS Kesehatan) akan tetap merasakan gratis pelayanan kesehatan yang mengacu pada Indonesia Case Base Groups (InaCBG’s). Sebanyak 107,88 juta jiwa peserta JKN non-PBI akan dikenakan urun biaya ketika mengakses layanan kesehatan.

Berdasarkan data Agustus 2018, total peserta BPJSKesehatan 200,28 juta jiwa. Jika sebanyak 64,72 juta jiwa peserta non-PBI (32,31% dari total peserta BPJS Kesehatan) dikategorikan kelas menengah, kelompok ini yang akan paling merasakan dampaknya. Disisi lain, 21,54% (43,15 juta jiwa) dari total peserta bisa dikatakan kelompok atas (kaya) dan tidak akan bermasalah dengan urun biaya atau mereka memiliki asuransi lain.

Dengan estimasi tersebut, masyarakat kelas menengah yang akan lebih rasional dalam mengakses layanan kesehatan. Sayangnya, tidak ada data sebaran masyarakat yang akan terdampak urun biaya yang dipublikasi oleh BPJS Kesehatan. Dampak dari kebijakan urun biaya akan terasa cukup signifikan dalam menekan keinginan masyarakat mengakses layanan kesehatan.

Pada saat yang sama, pemangkasan manfaat pelayanan pun kian membatasi peserta mendapatkan pelayanan kesehatan.

Berbeda dengan urun biaya, pengenaan selisih biaya merupakan rencana yang bisa dikatakan relatif lebih tepat. Namun, penerapannya perlu hati-hati. Pasalnya, selisih biaya ini harus ditanggung masyarakat dari tarif yang ditetapkan Ina-CBG’s pada kelas peserta terdaftar jika peserta tersebut naik kelas pelayanan.

Namun jika kebijakan ini diterapkan, apakah akan diberlakukan juga apabila rumah sakit rujukan sudah penuh pada kelas perawatan dimana peserta BPJS Kesehatan terdaftar, tetap dikenakan selisih biaya jika terpaksa harus naik kelas pelayanan?

Pasien di kota besar tidak terlalu bermasalah, karena pilihan rumah sakit cukup banyak. Lain halnya di perdesaan atau yang layanan kesehatannya terbatas. Pasien, khususnya non-PBI, tak punya pilihan karena harus naik kelas atau tidak mendapatkan penanganan kesehatan di kelasnya terdaftar. Hal ini perlu diantisipasi Kemenkes

Urun biaya dan selisih biaya merupakan konsekuensi dari keengganan pemerintah dalam menaikkan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan. Disisi lain pemerintah masih menahan alternatif pembiayaan dari pajak rokok dan atau mungkin dana abadi kesehatan. Dana abadi kesehatan dapat diperoleh dari APBN, pajak rokok, kendaraan, dan pajak makanan minuman yang ikut menyumbang penyakit tertentu pada masyarakat.

Sekalipun peserta JKN terpenuhi 100% belum menjamin bahwa defisit BPJS Kesehatan akan hilang atau mengecil.

Selain itu penekanan defisit yang terjadi masih bersifat eksternal, diluar dari struktur organisasi yang ada. Jika defisit ini adalah masalah bersama, seharusnya peningkatan efisiensi kegiatan operasional pun perlu dilakukan.

Beban operasional BPJS Kesehatan 2017 tercatat Rp3,8 triliun. Perlu dilakukan efisiensi agar beban bisa dikurangi hingga beberapa puluh persen, sehingga bisa membantu menekan defisit.

BPJS Kesehatan juga memiliki investasi lain. Pada dasarnya desain ini untuk mengantisipasi adanya dana iuran besar yang mengendap. Saat defisit melanda apakah tidak sebaiknya kegiatan investasi ditarik keluar dari BPJS Kesehatan.

Pertama, menyebabkan bengkaknya biaya operasional, karena harus membayar unit investasi dalam struktur lembaga di BPJS Kesehatan. Kedua, terjadi conflict of interest dalam alokasi anggaran untuk pembayaran kewajiban atau beban investasi. Beban investasi tercatat sebesar Rp28,21 miliar. Adapun pendapatan bruto investasi Rp150,91 miliar pada 2017. Tentu nilai pendapatan investasi tersebut yang terdiri dari bunga deposito, obligasi, dan keuntungan pelepasan investasi merupakan akumulasi alokasi beban investasi pada tahun-tahun sebelumnya.

Tingginya angka kunjungan masyarakat pada faskes tidak semata-mata terjadi dugaan penyalahgunaan layanan kesehatan tetapi bisa jadi imbas dari rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Ini pun kritik bagi program Kemenkes seperti program promotif dan preventif.

Ketidakefektivan program tersebut menyebabkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan terbilang cukup rendah. Alhasil, ketika ada layanan kesehatan yang terjangkau, tak heran masyarakat berbondong-bondong mengakses faskes.

Perbaikan perlu dilakukan secara menyeluruh. Permasalahan BPJS Kesehatan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, faskes, dan BPJS Kesehatan sendiri. Penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan harus dilakukan secara bersama-sama dengan keterlibatan aktif semua elemen.

Penerapan urun biaya dan selisih biaya bisa menjadi solusi jangka pendek apabila dilakukan hati-hati. Namun, saya yakin tidak akan bisa menutup defisit BPJS Kesehatan sepenuhnya.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (21/2/2019).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sutarno
Terkini