Morgan Stanley : Suku Bunga BI Diproyeksi Turun 75 Bps Kuartal III/2019

Bisnis.com,14 Mar 2019, 14:11 WIB
Penulis: Hadijah Alaydrus
Karyawan melintas di dekat logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Senin (25/2/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA -- Bank investasi asal Negeri Paman Sam, Morgan Stanley, memperkirakan Bank Indonesia akan memotong suku bunga acuan sebesar 75 basis poin pada kuartal III/2019. 
 
Perkiraan tersebut berlawanan dengan konsensus pasar yang memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan menahan suku bunganya dan kemungkinan naik sebesar 25 basis poin pada kuartal akhir 2019. 
 
Dalam laporannya yang dirilis pada Rabu (13/3/2019), Morgan Stanley bahkan merekomendasikan investor untuk membeli surat utang pemerintah Indonesia tenor 10 tahun tanpa lindung nilai valas. 
 
Ekonom Morgan Stanley Asia Ltd. Deyi Tan melihat suku bunga bank sentral Indonesia memiliki keterkaitan eksternal dengan suku bunga Federal Reserve. Inilah yang menjadi alasan konsensus melihat suku bunga BI cenderung flat dan akan sedikit meningkat pada kuartal IV/2019. 
 
Namun, dia menegaskan pihaknya meyakini ada peluang bagi BI untuk memutus keterkaitan eksternal dari suku bunganya dengan suku bunga AS. Pelemahan dolar dan tertundanya normalisasi kebijakan bank sentral AS dapat menjadi peluang bagi BI untuk menurunkan suku bunganya.
 
"Kami melihat BI akan menurunkan suku bunga sebanyak 75 basis poin (bps) pada kuartal III/2019 di tengah normalisasi The Fed yang tertunda, inflasi rendah, dan menyempitnya defisit transaksi berjalan," papar Tan dalam laporan Morgan Stanley, seperti dikutip Bisnis, Kamis (14/3).
 
BI diperkirakan akan memotong suku bunganya secara bertahap sebesar 25 bps pada Juli, Agustus, dan September 2019.
 
Dari sisi makro ekonomi domestik, Morgan Stanley melihat inflasi dapat ditekan di level rendah. Hal ini sebagai bagian dari upaya struktural dalam menjaga inflasi pangan dan dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap inflasi (imported inflation).
 
Morgan Stanley juga memangkas perkiraan inflasi 2019-2020 menjadi 2,9%-4,1% dari sebelumnya 3,2%-4,3%. Pemangkasan ini dilakukan setelah melihat rilis inflasi Februari 2019 yang berada di kisaran 2,6%. 
 
Morgan Stanley percaya inflasi yang rendah didorong oleh beberapa faktor, di antaranya struktural. Contohnya, inflasi bahan pangan yang turun seiring kebijakan yang ditempuh untuk memperbaiki distribusi logistik pangan, manajemen permintaan dan pasokan yang lebih baik, serta penekanan distorsi harga akibat kartel pangan. 
 
Inflasi rendah serta dampak dari pelemahan nilai tukar yang hampir tidak ada menunjukkan bahwa kebijakan moneter BI telah berhasil menjangkau ekspektasi inflasi.
 
Di sisi lain, kebijakan BI telah membawa gap yang besar antara suku bunga riil Indonesia dan AS. Tentu saja, perbedaan suku bunga riil tersebut membantu untuk membeli perlindungan terhadap risiko volatilitas.

Tetapi, Tan melihat kondisi ini memberi BI ruang untuk pelonggaran kebijakan. 
 
Sementara itu, dia memahami defisit transaksi berjalan masih menjadi permasalahan. Namun, Morgan Stanley melihat ada kecenderungan defisit tersebut menyusut.

Pasalnya, depresiasi Real Effective Exchange Rate (REER) akan memperbaiki daya saing produk non komoditas. Alhasil, kondisi ini akan menurunkan impor.
 
Harga minyak yang lebih rendah dan berbaliknya pertumbuhan ekonomi global pada kuartal kedua tahun ini pun dinilai akan cukup membantu.
 
"Kami percaya defisit transaksi berjalan dapat menyempit ke level yang lebih terjaga, yakni 2,6% terhadap PDB pada 2019," sebut Tan.
 
Faktor lain yang mendorong penurunan defisit transaksi berjalan adalah perubahan bauran permintaan domestik, yang juga berdampak pada intensitas impor. Hal ini dipandang menguntungkan defisit transaksi berjalan. 
 
Selama ini, sebagian besar impor didorong oleh pemulihan belanja modal di sektor komoditas dan infrastruktur. Namun, momentum belanja modal di kedua sektor ini telah kembali normal.

Selain itu, kebijakan belanja fiskal bergeser secara bertahap dari infrastruktur ke program bantuan sosial menjelang Pemilu 2019.
 
Dari sisi ekspor, Tan mengungkapkan pihaknya  tidak mengharapkan performa ekspor yang anjlok. Dia mengakui momentum ekspor Indonesia telah turun ke teritori negatif sejak November tahun lalu.
 
Namun, kombinasi dari kebijakan The Fed yang tertahan, negosiasi perdagangan yang terus berlanjut, dan pelonggaran kebijakan yang efektif diharapkan mampu membawa permintaan global untuk stabil dan pulih setelah kuartal II/2019.
 
Lebih lanjut, Morgan Stanley melihat risiko kenaikan harga minyak pada 2020, sehingga inflasi di dalam negeri dapat meningkat ke batas atas sasaran BI. Pada 2020, Federal Reserve diperkirakan akan menutup tahun dengan kenaikan suku bunga hingga 3,375%. 
 
Sementara itu, pergeseran China dari surplus neraca berjalan ke defisit neraca berjalan akan memicu persaingan yang lebih besar untuk pendanaan eksternal. Kondisi ini kemungkinan dapat memicu pelebaran defisit transaksi berjalan Indonesia menjadi 2,6% dari PDB pada 2020.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Margrit
Terkini