Making Indonesia 4.0 : Ekspor Manufaktur Ini Berpotensi Dipacu Lebih Agresif

Bisnis.com,14 Mar 2019, 12:30 WIB
Penulis: Annisa Sulistyo Rini
Presiden Joko Widodo (tengah) meninjau pameran International Furniture Expo (IFEX) 2019 di Jakarta, Rabu (13/3/2019)./ANTARA-Akbar Nugroho Gumay

Bisnis.com, JAKARTA—Sepanjang tahun lalu, sektor manufaktur andalan dalam implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0 mencatatkan pertumbuhan tinggi. Beberapa sektor pun masih memungkinkan dipacu lebih agresif.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi, yakni industri alat angkut dan otomotif, industri kulit dan alas kaki, industri logam dasar, industri tekstil dan produk tekstil, serta industri makanan dan minuman.

"Terdapat beberapa sektor yang memungkinkan dipacu secara agresif," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (13/3/2019).

Dia menyebutkan sektor industri agro sebagai salah satunya, yang mana industri furniture telah mencatatkan kinerja ekspor positif dalam 3 tahun terakhir.

Sumber bahan baku kayu di Indonesia sangat besar, oleh karena itu pemerintah berupaya mengoptimalkan potensi industri furniture nasional melalui beberapa kebijakan, antara lain melalui program bimbingan teknis produksi, promosi dan pengembangan akses pasar, serta penyiapan SDM industri furnitur yang kompeten.

Selain itu, di sektor kimia, farmasi, dan tekstil ada beberapa sektor yang nilai ekspornya dapat dipacu secara agresif, yakni industri karet. Kalau berbicara industri karet, lanjutnya, yang paling banyak menggunakan karet alam adalah produk ban untuk kendaraan beban besar berkecepatan rendah.

“Karena itu, untuk ban pesawat terbang akan memerlukan karet alam yang lebih banyak. Kami juga mendorong agar ekspor meningkat,” imbuh Airlangga.

Airlangga menambahkan, pada sektor industri logam, mesin alat transportasi dan elektronika, terjadi peningkatan ekspor yang sangat besar ada pada sektor baja. Hal tersebut dipacu dengan berproduksinya beberapa pabrik pengolahan (smelter) baja yang baru seperti di Morowali, Sulawesi Tengah. Total kapasitas produksi smelter nickel pig iron sebesar 2 juta ton per tahun dan 3,5 juta ton stainless steel per tahun, dengan nilai ekspor mencapai US$2 miliar pada 2017 dan naik menjadi US$3,5 miliar.

Namun, untuk memacu ekspor baja, Kemenperin perlu berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan terkait dengan peningkatan ekspor baja tersebut, karena saat ini untuk ekspor ke Amerika Serikat dikenakan bea masuk sebesar 25%. China juga sedang memulai investigasi anti-dumping untuk impor baja nirkarat (stainless steel).

Hal itu dilakukan setelah Kementerian Perdagangan China menerima keluhan bahwa impor stainless steel merugikan industri lokal Negeri Tirai Bambu. “Jadi kedua negara itu melakukan kebijakan proteksi karena produk baja Indonesia masuk dalam jumlah besar,” tuturnya.

Airlangga menambahkan, lima besar negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia adalah Amerika Serikat, China, Jepang, India dan Singapura. “Tujuan ekspor kita saat ini utamanya ke pasar-pasar tradisional. Untuk meningkatkan nilai ekspor, kami mendorong lima sektor yang prioritas di program Making Indonesia 4.0,” kata Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fatkhul Maskur
Terkini