Kebijakan Fenomenal Syafruddin Prawiranegara, Demi Ekonomi Indonesia

Bisnis.com,14 Mar 2019, 16:59 WIB
Penulis: Oliv Grenisia
Kebijakan Syafruddin Prawiranegara. / Ilham Mogu

Bisnis.com, JAKARTA – Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan menetapkan kebijakan tidak populer demi menyelamatkan ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan. Kondisi ekonomi Indonesia memburuk setelah mendapatkan pengakuan dari Belanda.

Semua itu bermula ketika Indonesia diakui kemerdekaannya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.

Namun, hasil kesepakatan KMB membuat Indonesia harus menerima warisan utang zaman Hindia-Belanda senilai US$1,13 miliar.

Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit dan cadangan devisa juga menyusut. Akhir 1949, jumlah cadangan devisa susut menjadi US$142 juta, pada 1945 cadangan devisa Indonesia senilai US$458 juta.

Secara total, Indonesia mengalami defisit hingga Rp5,1 miliar.

Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Hatta II. Dia mendapatkan tugas memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan, dan kesehatan.

Dalam penelitian Ika Septi Handayani berjudul Kebijakan Ekonomi Indonsia Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) mencatat tugas Syafruddin lainnya adalah untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kerja, membuat aturan upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar mdnyokong kemakmuran rakyat seluruhnya.

Nah, Syafruddin pun mengeluarkan kebijakan fenomenal yakni, Gunting Syafruddin dan Sertifikat Devisa. Dua kebijakan itu akan menjadi penyelamat ekonomi Indonesia.

Dia mengeluarkan kebijakan gunting Syafruddin berupa gunting uang Indonesia saat itu menjadi dua bagian pada 10 Maret 1950. Lalu, tiga hari kemudian dia menerapkan kebijakan Sertifikat Devisa demi mendongkrak ekspor.

Saat itu, Indonesia tengah kebanjiran produk impor, keberadaan Sertifikat Devisa diharapkan para pelaku usaha dalam negeri bisa bersaing dengan produk impor.

Skema Sertifikat Devisa adalah eksportir akan mendapatkan sertifikat devisa yang memiliki nilai sebesar 50% dari transaksi ekspor, sedangkan importir harus membeli sertifikat devisa yang nilainya sama dengan transaksi impornya.

Kebijakan itu pun membuat importir kecil di Indonesia tertekan. Mereka memprotes kebijakan Syafruddin itu, tetapi sang menteri tidak bisa digoyahkan pendiriannya.

Kebijakan Sertifikat Devisa tetap berjalan. Hasilnya, harga kebutuhan pokok kembali normal, dan pendapatan negara melejit 373,59% menjadi Rp6,99 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Surya Rianto
Terkini