Bisnis.com, JAKARTA – Meredanya tekanan suku bunga AS dan perlambatan ekonomi global tampaknya mendorong energi Bank Indonesia (BI) untuk lebih berkonsentrasi ke dalam negeri.
Kendati dari kebijakan moneter masih ketat dengan menahan suku bunga acuan, BI tetap memberi kelonggaran lewat kebijakan makroprudensial.
Rasio intermediasi makroprudensial (RIM) yang semula 80%-92% dilonggarkan menjadi 84%-94% yang akan efektif berlaku pada 1 Juli mendatang. RIM menunjukkan perimbangan antara pendanaan (financing) dengan pembiayaan (funding). Dengan aturan yang baru ini, perbankan distimulasi untuk lebih kuat menjalankan fungsi intermediasi.
Fungsi intermediasi bank adalah menjembatani antara pemilik dana berlebih dengan pihak yang membutuhkan dana. Perbankan berperan dalam mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) dari para nasabahnya. Hasil dana terhimpun diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana para debitur untuk ekspansi usaha.
Kalau RIM di bawah level 84%, misalnya, bank harus membayar tambahan giro wajib minimum tanpa imbalan. Oleh karena itu, pertimbangan bisnis akan mengarahkan bank pada pilihan untuk meningkatkan kapasitas penyaluran kredit yang niscaya mendatangkan imbal hasil (return).
Dalam perhitungan BI, kebijakan relaksasi RIM akan memacu kredit perbankan pada kisaran 10%-12%. Angka ini diklaim cukup untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%. BI sendiri memproyeksilan pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2019 berada di sekitar 5%-5,4%.
Namun, pelonggaran RIM tidak lepas dari risiko. Risiko yang paling dekat adalah ketidaksesuaian maturitas (maturity mismatch) pendanaan antara dana pihak ketiga (DPK) yang masuk dengan dana yang tersalur. DPK nasabah bersifat jangka pendek, sedangkan kredit yang disalurkan memiliki masa tenggang yang jauh lebih panjang.
Risiko ketidaksesuaian maturitas membawa perbankan pada risiko likuiditas. Perbankan boleh jadi tidak mampu memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan sehingga mengganggu aktivitas dan kondisi keuangannya.
Kekhawatiran ini agaknya sudah diantisipasi BI. Jika likuiditas mengetat, perbankan bisa memanfaatkan fasilitas transaksi repo (repurchase agreement). Dengan menjaminkan SBN (Surat Berharga Negara) kepada BI, perbankan bisa mendapatkan dana ‘sebrakan’ untuk jangka pendek.
Faktanya, hanya sedikit bank yang masuk ke transaksi repo. Perbankan hati-hati merepokan SBN ke BI lantaran beberapa kendala. Pertimbangan utamanya, lagi-lagi, soal bisnis. Repo SBN dianggap tertalu mahal secara finansial jika ditujukan hanya untuk menganggulangi kesulitan likuiditas jangka pendek.
Lebih dari itu, tidak semua bank memegang SBN. Kalaupun memegang SBN, bank tidak bisa menjamin perolehan dana dari transaksi repo SBN akan sama besar dengan nilai nominalnya. Alhasil, opsi transaksi repo belum sepenuhnya menyelesaikan masalah klasik likuiditas perbankan.
Dengan beberapa disinsentif tersebut, perbankan cenderungan mencari dana di pasar uang antarbank meski dengan suku bunga sedikit lebih mahal. Alternatif lainnya, bank menjual cadangan SBN di pasar sekunder dengan harapan mendapatkan selisih harga (capital gain).
MASUK AKAL
Opsi yang disebut terakhir ini masuk akal. Instrumen SBN dijamin penuh oleh negara baik dalam pembayaran kupon maupun pelunasan saat jatuh tempo sehingga selalu menjadi target perburuan banyak investor. Alhasil, perbankan akan cepat memperoleh dana ekstra untuk menyelesaikan masalah likuiditasnya.
Penjualan SBN akan dikalkulasi sebagai pengurang unsur pendanaan. Sementara itu, dana segar hasil penjualan SBN akan diperhitungkan kembali sebagai penambah komponen pendanaan. Konsekuensinya, apapun pilihan yang ditempuh perbankan, RIM tidak akan berubah secara signifikan.
Relaksasi RIM seolah juga mentoleransi bank untuk mengambil risiko yang lebih besar. Kenaikan penyaluran kredit berkorelasi kuat dengan kredit bermasalah (non performing loan). Artinya, efek positif dari pelonggaran RIM boleh jadi tidak bisa menutup dampak negatifnya.
Momen pelonggaran RIM saat likuiditas masih ketat juga menjadi pertanyaan besar. Sebagai rujukan, pertumbuhan kredit perbankan sepanjang tahun lalu mencapai 11,75%, sedangkan pertumbuhan DPK hanya 6,45%. Artinya, ruang gerak perbankan sejatinya sudah amat sempit.
Pokok persoalannya adalah porsi DPK dalam struktur pendanaan perbankan masih dominan. DPK utamanya jenis CASA (current account and saving account) tergolong sebagai dana berbiaya murah. Alhasil, tensi kompetisi perebutan CASA antarbank niscaya akan menajam.
Sebagai catatan, di Indonesia terdapat 115 bank. Dengan disparitas kekuatan finansial lintas bank, hanya bank besar yang mampu meraup DPK. Sementara itu, bank kecil tetap saja mengalami kesulitan likuiditas yang ujung-ujungnya berdampak kembali pada kapasitas penyaluran kredit.
Kekhawatiran di atas bukannya mengada-ada. Pemilik DPK juga diiming-imingi imbal hasil instrumen finansial lain yang atraktif. Sebagai bagian dari keranjang investasi portofolio, mereka niscaya akan menaruh dananya pada instrumen finansial yang cepat memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.
Kompetisi antarbank maupun antara bank dengan industri keuangan nonbank serta teknologi finansial, bahkan pula lembaga keuangan asing, turut memperparah likuiditas. Mereka ‘bermain’ di segmen yang sama, dari sisi hulu sampai hilir. Akibatnya, pembiayaan dunia usaha masih bergantung 70% pada kredit.
Dengan konfigurasi problematika di atas, relaksasi RIM mestinya lebih diarahkan pada kemudahan bank dalam menghimpun DPK alih-alih stimulasi untuk menggenjot kredit, Selama pertumbuhan DPK lebih rendah dari pertumbuhan kredit, risiko likuiditas masih terus mengancam industri perbankan.
Setuju?
*) Penulis adalah Direktur Riset SEEBI (the Socio- Economic & Educational Business Institute) Jakarta dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
**) Atikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (25/3/2019)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel