Resep Tajir Sebelum Tua a la Bahana TCW

Bisnis.com,05 Apr 2019, 09:02 WIB
Penulis: Annisa Margrit
Karyawan menghitung mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Senin (1/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA -- Baru gajian tapi sudah tidak punya uang? Rasanya tidak banyak belanja tapi uang di dompet terus mengalir tak tahu ke mana?

Barangkali tidak sedikit yang seperti ini, tidak paham bagaimana mengatur dan mengelola keuangan. Padahal, persiapan menghadapi masa pensiun harus dilakukan sejak jauh-jauh hari.

Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan ada resep investasi agar bisa hidup tajir sebelum tua bagi mereka yang ingin memiliki aset cukup menjelang masa pensiun, yaitu "100 dikurangi umur". Menurutnya, resep ini sudah menjadi strategi umum para investor untuk mengukur besarnya alokasi aset yang harus ditempatkan di aset berkembang. 

Bahkan, di beberapa negara, banyak yang menggunakan resep "110 minus umur" karena obligasi negara dan pasar uang memberi imbal hasil yang sangat rendah. 

Pada mulanya, rumus itu untuk menjaga agar ketika memasuki usia pensiun, investor dapat menghindari penurunan target total nilai aset jikalau terjadi penurunan tajam seperti yang terjadi pada 2008. Investor pun disarankan untuk memperbesar alokasi aset yang sifatnya konservatif seperti obligasi negara.

Namun, karena yield obligasi negara di sana relatif rendah sedangkan harapan usia investor lebih panjang, maka rumusan itu malah dimodifikasi menjadi "110 dikurangi umur".

Sementara itu, tutur Budi, masyarakat Indonesia berasal dari kelompok savers (penabung), bukan investors.

"Deposito masih menjadi pilihan mayoritas masyarakat Indonesia. Padahal, deposito kurang memberikan efek pertumbuhan (growth), bahkan tidak juga efek perlindungan (protection) terhadap inflasi. Memang bunga deposito pernah sangat tinggi, sekitar 65%, yang terjadi ketika perekonomian Indonesia sedang distabilkan setelah krisis moneter 1998," paparnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (5/4/2019).

Selama 10 tahun terakhir, rata-rata total imbal hasil aset saham yang diukur berdasarkan capital gain dan dividen atas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai 18,9% per tahun. Imbal hasil ini jauh melebihi rata-rata inflasi 4,7% per tahun pada periode yang sama.

Laju pertumbuhan aset saham itu memungkinkan investor menggandakan pokok investasi hanya dalam periode 4 tahun. 

Walaupun Budi memproyeksi imbal hasil aset saham menurun pada kisaran 10% per tahun, tapi angka tersebut tetap lebih tinggi ketimbang inflasi yang berkisar 3,5% sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia (BI).

Dia pun mencontohkan penerapan resep "100 dikurangi umur" bagi investor dari generasi milenial. Sebut saja investor bernama Adi yang berusia 30 tahun memiliki pendapatan Rp10 juta per bulan.

Rumus itu menyarankan sekitar 70% total aset Adi dialokasikan dalam bentuk properti melalui fasilitas cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan juga reksa dana saham yang diakumulasi secara berkala. Namun, dalam pembentukannya, Adi perlu menjaga keseimbangan antara konsumsi dan investasi.

Apabila Adi memilih properti sebagai aset jangka panjang yang akan ditinggali, maka dia sebaiknya membatasi cicilan KPR maksimum 30% pendapatan atau sekitar Rp3 juta.

Sementara itu, untuk alokasi investasi reksa dana saham secara berkala, Adi dapat membatasi hanya 2,5% pendapatan seperti yang disarankan oleh David Bach penulis buku laris Automatic Millionaire.

Dengan penguatan karier, pendapatan Adi masih mungkin meningkat sehingga secara otomatis menurunkan rasio cicilan KPR. Kondisi ini memungkinkan Adi meningkatkan alokasi pada reksa dana saham yang relatif lebih likuid dibanding aset properti.

Budi juga menyarankan Adi memiliki aturan "ambil untung untuk realokasi antara aset", berdasarkan kenyataan sering kali harga aset saham dinilai overvalued. Hal ini pernah terjadi pada 2006 dan 2007, yang diwarnai oleh lonjakan imbal hasil aset saham sekitar 50% per tahun.

Adi, lanjutnya, dapat mengendalikan kerakusan yang mewabah saat itu dengan aksi ambil untung aset saham yang digunakan untuk mengurangi beban cicilan pokok dan bunga KPR. Bahkan, dapat pula digunakan untuk menambah alokasi aset properti dengan mengambil KPR baru.

Pada kondisi seperti ini, Adi lebih leluasa untuk menerapkan aturan "100 dikurangi umur".

"Pengalaman saya dengan mencermati fundamental perekonomian Indonesia yang didominasi oleh penduduk muda yang senang belanja, lebih baik mengendalikan kerakusan ketimbang menuruti kecemasan dalam berinvestasi," tegas Budi, yang kini sudah berusia 53 tahun.

Dia mengaku resep tersebut memungkinkannya mempersiapkan masa pensiun dengan strategi investasi konservatif melalui reksa dana pasar uang dan Surat Berharga Negara (SBN) ritel. Anak-anak muda sekarang pun diimbau belajar menyelami manfaat investasi dengan terlebih dahulu mengendalikan tekanan sosial bertingkah konsumtif.

"Kepada anak-anak, saya selalu ingatkan bahwa hidup itu murah. Adalah gengsi yang membuatnya mahal. Mereka harus bisa membedakan antara looking rich dan being rich. Berinvestasi ala Nabi Yusuf pada hakikatnya dilakukan berkala dan bertahap," tambah Budi.

Adapun Bahana TCW memiliki sejumlah produk reksa dana yang sesuai dengan kebutuhan investor. Untuk aset saham misalnya, Bahana menawarkan reksa dana Bahana Trailblazer Fund, Dana Ekuitas Andalan, Bahana Dana Ekuitas Prima, Bahana Dana Prima, Bahana Primavera 99, dan Bahana ICon Syariah.

Untuk reksa dana pendapatan tetap, ada Bahana MES Syariah Fund, Ganesha Abadi, Bahana Pendapatan Tetap Makara Prima, Kehati Lestari, dan Reksa Dana Syariah Bahana PTS Generasi Gemilang. Sementara itu, untuk reksa dana pasar uang, Bahana TCW menawarkan produk Bahana Dana Likuid dan Bahana Likuid Syariah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Margrit
Terkini