Proyek Jalan di Bukit Rimbang Baling Ditolak

Bisnis.com,29 Apr 2019, 16:59 WIB
Penulis: Newswire

Bisnis.com, PEKANBARU--Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Fahmizal Usman, menolak rencana pembangunan jalan di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling di Kabupaten Kampar untuk pengembangan pariwisata kawasan konservasi tersebut, karena khawatir akan disalahgunakan jadi jalur pembalakan hutan secara ilegal.

“Jangan bikin jalan. Siapa yang bisa jamin di sana nanti tidak ada illog (illegal logging) kalau sudah ada jalan,” kata Fahmizal Usman pada dialog “Tantangan Pengembangan Pariwisata Alam di Riau” di Pekanbaru, Senin (29/4/2019).

Dia mengatakan konsep pembangunan jalan untuk pengembangan pariwisata di Bukit Rimbang Baling perlu dipertimbangkan dengan serius, karena aksi pembalakan liar selama ini masih ada di sana. Pembalak liar selama ini mengalirkan kayu tebangan melalui Sungai Subayang yang merupakan satu-satunya akses transportasi di sana.

“Apalagi warga di sana sudah menyatakan banyaknya uang beredar dalam pembalakan liar dan ada unsur gratifikasi,” katanya.

Fahmizal menyatakan hal tersebut menanggapi pernyataan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Suharyono, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sudah menyetujui pembangunan jalan interpretasi di SM Rimbang Baling.

Kawasan ini punya luas 143 ribu hektare di Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi, dan selama ini BBKSDA Riau kesulitan untuk mengawasi karena hanya ada tujuh orang pegawai di sana.

Menanggapi penolakan Kepala Dinas Pariwisata Riau, Suharyono mengatakan jalur interpretasi akan dibangun tidak dengan menebang pohon dalam pembuatannya. Ia menjelaskan jalan itu nantinya bukan jalan beton dan aspal, tapi paving sehingga air tetap bisa mengalir.

“Sebenarnya kalau kami daripada konservasi, mestinya kami dong yang bicara tidak setuju, bukan dia, bukan mereka. Ini izin keluar sudah konsultasi ke pusat karena tadi, kita jangan hanya berfikir hutannya selamat, tapi warga tidak mendapatkan apa-apa,” kata Suharyono.

Dia mengatakan, jalur interpretasi juga berfungsi sebagai jalur evakuasi. Sebabnya, banyak kasus kematian warga yang sakit dan ibu melahirkan karena hanya bisa mengandalkan jalur transportasi sungai, sehingga terlambat mendapat layanan kesehatan. Selain itu, warga yang tinggal di perkampungan di sana sudah ada jauh sebelum hutan itu ditetapkan pemerintah sebagai suaka margasatwa.

Rencananya, jalur interpretasi adalah berupa jalan selebar satu meter sepanjang 38 kilometer menghubungkan 12 desa di kawasan itu, dan hanya boleh dilalui kendaraan roda dua. Suharyono mengatakan sudah ada komitmen masyarakat untuk menjaga agar jalan itu tidak disalahgunakan, dan BBKSDA Riau sudah mengakomodasikan dengan membuat pelatihan pembentukan polisi adat yang mengadopsi “pecalang” di Bali.

“Jadi polisi adat nanti bukan berarti membawa senjata, yang berlaku nanti hukum adat,” ujarnya.

Menurut dia, proyek perencanaan fisik jalur interpretasi itu sudah dikerjakan oleh Pemkab Kampar dan sudah bisa dilakukan pembangunan melalui anggaran dana desa. “Jadi itu keinginan masyarakat desa,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: M. Rochmad Purboyo
Terkini