Bisnis.com, JAKARTA – Pada awal tahun ini, PT Bank Mayapada International Tbk. masih menawarkan special rate untuk simpanan berjangka untuk menjaga likuiditas di tengah ketatnya persaingan dana di pasar.
Direktur Utama Bank Mayapada Haryono Tjahrijadi mengatakan terpaksa menawarkan special rate untuk bersaing menyerap dana deposito. Saat ini, perusahaan mematok special rate sekitar 50 basis poin (bps) dari suku bunga acuan.
Kondisi tersebut akan dipertahankan sepanjang likuiditas dianggap masih belum memenuhi kebutuhan.
"Kalau likuiditas cukup, menurut saya kondisi suku bunga pun akan normal-normal saja,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (7/5/2019).
Haryono melanjutkan persaingan menghimpun dana lewat suku bunga membuat margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) perusahaan tergerus.
Pada kuartal I/2019, posisi NIM Mayapada adalah 3,27 persen, turun dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 3,95 persen. Capaian tersebut melanjutkan tren negatif sejak tahun lalu.
Kendati telah menawarkan special rate untuk instrumen deposito, Mayapada tidak mematok target bisnis yang tinggi terkait Dana Pihak Ketiga (DPK). Perusahaan memproyeksikan pertumbuhan DPK hanya naik satu digit.
Per Maret 2019, portofolio DPK Bank Mayapada senilai Rp73,94 triliun atau naik 9,64 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Tabungan menjadi pendorong pertumbuhan dengan kenaikan 54,48 persen yoy menjadi Rp15,17 triliun.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), rata-rata bunga deposito rupiah bank, yang dihitung dengan rata-rata bergerak 22 hari, mencapai 6,18 persen pada akhir Februari 2019 atau naik hanya 1 bps dari akhir bulan sebelumnya. Hal yang sama terjadi pada rata-rata suku bunga maksimum, yang naik 3 bps menjadi 7,34 persen.
Namun, suku bunga minimum mengalami penurunan sebesar 1 bps menjadi 5,03 persen. Sementara itu, rata-rata bunga deposito valas industri mengalami kenaikan sebesar 3 bps pada Februari 2019 menjadi 1,2 persen.
LPS menilai tren kenaikan lanjutan pada suku bunga simpanan perbankan diperkirakan sudah mendekati optimal dan berpotensi melandai. Sinyal penurunan cukup terbuka karena mempertimbangkan bahwa bank perlu menjaga NIM.
Hal tersebut seiring dengan probabilitas kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang relatif terbatas. Seperti diketahui, BI mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps menjadi 6 persen pada 2018.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel