Bisnis.com, JAKARTA — Penempatan investasi pada instrumen jangka panjang dinilai dapat mendorong kinerja hasil investasi industri asuransi jiwa pada 2019, setelah sempat mencatatkan kinerja yang loyo pada tahun lalu.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menjelaskan, kinerja investasi dari produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI atau unit-linked) mencatatkan kinerja yang kurang baik pada 2018, seiring kondisi pasar modal yang menantang.
Hal tersebut membuat hasil investasi industri asuransi jiwa secara keseluruhan pada 2018 menurun hingga 88 persen, dari Rp50,19 triliun pada 2017 menjadi Rp7,83 triliun pada 2018. Meskipun begitu, menurut Togar, kinerja tersebut masih tertolong oleh hasil investasi dari produk non unit-linked.
Untuk itu, lanjut Togar, pada tahun ini industri asuransi jiwa disarankan untuk menggenjot investasi produk non unit-linked. Langkah tersebut menurutnya perlu diterapkan dengan memperhatikan instrumen investasi yang akan dipilih.
“Strategi yang dilakukan untuk memenuhi target tersebut dengan penempatan investasi di obligasi yang berdurasi panjang, pasar uang, atau kombinasinya,” ujar Togar kepada Bisnis, Rabu (12/6/2019).
Selain itu, untuk penempatan investasi pada instrumen saham, Togar menyarankan industri asuransi jiwa untuk memilih saham dengan kapitalisasi pasar yang besar atau blue chip. Mulai membaiknya nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) pun menurut Togar dapat menjadi penenang industri asuransi jiwa dalam menempatkan investasi pada saham, khususnya saham blue chip.
Pergerakan kondisi pasar modal dapat berpengaruh signifikan terhadap hasil investasi industri asuransi jiwa karena porsi penempatan investasi dalam instrumen tersebut terbilang tinggi.
Berdasarkan data AAJI, pada 2018, investasi yang ditanamkan dalam instrumen saham mencapai 32,9 persen, sedangkan lainnya terdiri dari reksa dana 33,8 persen, surat berharga negara 14,4 persen, deposito 8,6 persen, sukuk korporasi 6,2 persen, bangunan dan tanah 1,9 persen, penyertaan langsung 1,5 persen, serta lain-lain 0,7 persen.
Saham pun tercatat sebagai instrumen investasi dengan laju pertumbuhan tercepat kedua pada periode 2014 hingga 2018. Saham mencatatkan rata-rata pertumbuhan 15,1 persen, berada di bawah instrumen penyertaan langsung sebesar 19,8 persen.
Setelah itu, instrumen investasi reksadana mencatatkan rata-rata pertumbuhan 13,6 persen, surat berharga negara 9 persen, sukuk korporasi 6,8 persen, serta bangunan dan tanah sebesar 1,8 persen.
Adapun, instrumen investasi deposito mencatatkan rata-rata pertumbuhan -7,6 persen, instrumen investasi lain-lain pun mencatatkan skor minus 5,7 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel