REGULASI ASURANSI : Wajib Investasi SBN Sudah Saatnya Dikaji

Bisnis.com,19 Jun 2019, 14:12 WIB
Penulis: Oktaviano DB Hana
/go2guys.co.nz

Bisnis.com, JAKARTA  -- Kebijakan yang mewajibkan pelaku industri jasa keuangan untuk menempatkan investasi di surat berharga negara dalam batasan tertentu dinilai sudah saatnya dikaji.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengatakan regulasi itu secara mendasar memang baik untuk meningkatkan kontribusi pelaku jasa keuangan untuk mendanai program pemerintah, khususnya terkait dengan pembiayaan infrastruktur yang digalakan dalam beberapa tahun terakhir.

Kendati begitu, dia menilai regulasi itu sudah saatnya dikaji lantaran dinilai bisa membebani industri dan juga sektor jasa keuangan terkait.

“itu sudah saatnya dikaji. Itu memang baik, tetapi untuk sejumlah hal itu tidak lagi bermanfaat,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (17/6/2019).

Togar menyebutkan regulasi itu saat ini cenderung membatasi ruang gerak pelaku asuransi jiwa untuk mengembangkan investasi dan meraup imbal hasil yang optimal. Di sisi lain, sebut dia, kebijakan itu berdampak pada sektor perbankan.

Pasalnya, pelaku asuransi cenderung menggeser portofolio, khususnya dari deposito, untuk memenuhi ketentuan tersebut.

“Akhirnya dana pihak ketiga berkurang. Ketentuan ini baik, tetapi akan lebih baik lagi kalau seandainya perusahaan diberi keleluasaan untuk mencari return yang lebih baik.”

Sebagai informasi, kewajiban tersebut diatur dalam Peraturan OJK No. 1/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank. Regulasi tersebut mewajibkan asuransi umum dan reasuransi menempatkan investasi minimum 10% pada akhir 2016 dan 20% pada akhir 2017 di SBN, sedangkan untuk asuransi jiwa masing-masing sebesar 20% dan 30%.

Untuk asuransi syariah atau unit usaha syariah, alokasi dana tersebut diwajibkan pada surat berharga syariah negara atau SBSN.

Peraturan OJK No. 1/2016 kemudian direlaksasi dengan melalui POJK No. 36/2016. Dalam aturan perubahan dinyatakan bahwa 50% dari kewajiban alokasi investasi itu dapat dipenuhi dengan penempatan dana pada obligasi atau sukuk BUMN dan BUMD yang terkait dengan pembiayaan infrastruktur.

Pada tahun lalu, regulasi itu kembali disesuaikan dengan POJK No. 56/2017 yang memberikan alternatif insrumen bagi pemenuhannya, yakni meliputi efek beragun aset, reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) yang penggunaan dananya untuk pembiayaan infrastruktur yang dilakukan BUMN, BUMD, atau anak perusahaan milik BUMN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Anggi Oktarinda
Terkini