Bisnis.com, JAKARTA—Bank-bank dengan modal kecil disarankan untuk melakukan konsolidasi atau merger agar bisa bersaing di industri perbankan nasional. Namun, tak sedikit bank yang mencoba untuk bertahan.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per April 2019, aset Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I sedikit membaik, tercatat sebesar Rp74,74 triliun, setelah sempat menurun drastis sejak 2015.
Aset BUKU II juga meningkat menjadi Rp853,19 triliun yang sebelumnya sempat menurun pada 2018.
Sementara itu, pangsa pasar BUKU I dan II juga mengalami peningkatan dengan masing-masingnya sebesar 0,97% dan 11,04%.
Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah mengatakan, bank dengan modal kecil memang didorong untuk segera merger atau diakuisisi oleh bank besar.
Namun, proses untuk merger bukanlah proses yang mudah di mana bisnis perbankan nasional dinilai masih sangat menarik dengan tingkat keuntungan yang tinggi.
"Pemilik bank kecil swasta nasional di BUKU I tampaknya memanfaatkan peluang di mana izin bank baru tidak mungkin dikeluarkan lagi oleh OJK dalam rangka konsolidasi perbankan nasional. Arahnya justru jumlah bank dikurangi," katanya kepada Bisnis, Kamis (4/7/2019).
Menurut Piter, bank-bank kecil menunggu tawaran tertinggi untuk diambil alih atau diakuisisi. Hal inilah yang menyebabkan merger hampir tidak mungkin terjadi.
Piter menimpali, dengan situasi di industri perbankan saat ini, perbedaan antara BUKU I dan II dengan bank besar, khususnya BUKU IV cukup besar, sehingga menyebabkan persaingan tidak berjalan kondusif bagi perekonomian nasional.
Dia menilai, regulator seharusnya memberi batas waktu proses konsolidasi. Artinya, bank-bank kecil ini harus dipaksa dalam periode waktu tertentu utk merger, diakuisi, atau memperbesar modal.
"Harusnya OJK punya timeline, misalnya dalam 5 tahun kedepan BUKU I harus masuk BUKU II, dalam 10 tahun semua yang tersisa tinggal bank BUKU III dan IV. Bank yang tidak memenuhi harus memilih merger, akuisisi atau tutup," jelas Piter.
Sementara itu, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bank dengan modal kecil memiliki kontribusi yang besar, khususnya dalam menyalurkan pembiayaan di sektor yang tidak terjangkau oleh bank besar.
"Salah satunya UMKM daerah, tapi keberadaan KUR [kredit usaha rakyat] juga banyak menekan bank kecil, akhirnya terjadi kanibalisme," katanya.
Bhima mengutarakan, selain mendorong merger, seharusnya ada solusi lain, misalnya dengan memfasilitasi channeling bank besar dengan BUKU I dan II.
Aturan penyaluran 20% kredit UMKM oleh bank bisa diubah menjadi bank wajib menyalurkan 20% kredit mikro melalui bank kecil. Jadi, menurut Bhima, ada jaringan kredit yang lebih luas.
Selain bersaing di industri perbankan nasional, bank kecil juga harus menghadapi persaingan dengan perusahaan teknologi finansial (tekfin).
Oleh karena itu, menurut Bhima, harus diatur juga regulasi kerja sama antara perusahaan tekfin dengan bank-bank kecil.
Selain itu, Bhima menambahkan ada beberapa bank yang memang sudah kuat tanpa harus merger, misalnya bank milik taipan yang pertumbuhan bisnisnya dipengaruhi oleh bisnis grup.
Senada, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Marutho mengatakan BUKU I dan II tidak perlu dipaksa untuk konsolidasi.
"Ini kan seleksi alam. Menurut saya dibiarkan saja, kita kan punya daerah hamparan yang luas, tidak hanya di kota besar," kata Ramdhan.
Bagi BUKU I dan II yang sudah memiliki pasar dan bisa menjalankan fungsi bank dengan baik, maka secara otomatis, bank tersebut akan bisa bertahan.
"Pemerintah bisa menyarankan untuk merger, tapi kalau bank bisa survive dan berhasil bermain di segmen mereka sih sebenarnya tidak ada masalah. Mereka bisa bertahan asal dikelola dengan baik," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel