RI Masih Susah 'Move On' dari CPO Sebagai Produk Andalan Ekspor Nonmigas

Bisnis.com,08 Jul 2019, 11:14 WIB
Penulis: Yustinus Andri DP
Kelapa sawit./Bloomberg-Taylor Weidman

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia masih kesulitan menemukan solusi untuk keluar dari ketergantungan terhadap komoditas minyak kelapa sawit sebagai tulang punggung ekspor nonmigas. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya masih menjadi komoditas utama penyangga ekspor nonmigas, selain batu bara.

Sejak 2020 hingga 2017, kontribusi CPO dan produk turunannya terhadap kinerja ekspor nonmigas memang terus mengalami pertumbuhan.

Namun demikian, kontribusi nilai penjualan komoditas perkebunan tersebut terhadap ekspor nonmigas terus mengalami tren penurunan. Kontribusi nilai ekspor CPO terhadap total nilai ekspor nonmigas pada 2018 mencapai 10,99% atau turun dari 2017 yang mencapai 13,29%. Penurunan itu berlanjut pada kuartal I/2019 yang mencapai 10,30% atau terendah sejak 2011.

Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri Handito Joewono mengatakan, secara umum, ekspor nonmigas Indonesia masih sangat bergantung kepada kinerja sektor CPO dan batu bara.

Dengan terus turunnya harga CPO di pasar global dan menyempitnya pangsa pasar ekspor komoditas itu, sudah waktunya Indonesia mencari cara untuk menjaga kinerja ekspor nonmigasnya dengan tidak hanya mengandalkan pada penjualan komoditas tersebut.

“Sudah sejak booming komoditas 2008, kita diperingatkan untuk tidak selamanya mengandalkan ekspor CPO. Namun, kita terlena dan masih terus mengandalkan komoditas itu sebagai andalan ekspor. Sementara itu, industri lain tidak dipersiapkan dengan baik untuk menggantikan atau menyamai kinerja  [CPO terhadap] ekspor nonmigas,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (7/7/2019).

Dia memperkirakan selama Indonesia tidak bisa mengurangi ketergantungannya terhadap ekspor CPO, laju pertumbuhan ekspor akan terus tertekan.

Untuk itu, tegasnya, Pemerintah Indonesia harus berani keluar dari kebiasaan untuk tidak hanya mengandalkan ekspor industri komoditas yang sudah mapan seperti CPO dan batu bara.

“Untuk itu insentif yang lebih besar seharusnya diberikan kepada sektor nonmigas lainnya. Sekarang saja, dana promosi produk Indonesia di luar negeri saja dipangkas habis oleh pemerintah. Bagaimana kita bisa bersaing kalau dari promosi saja kita dikebiri?” lanjutnya.

Berdasarkan data BPS sejak 2010, dua peringkat teratas komoditas penyumbang nilai ekspor terbesar masih terus ditempati secara bergantian oleh CPO dan batu bara. Masing-masing menyumbang lebih dari 10% terhadap total ekspor nonmigas. Sebaliknya, komoditas lain seperti tekstil dan produk tekstil, karet, dan sebagainya hanya berkontribusi sekitar 6%. (Lihat grafis)

Kesenjangan itu, menurut Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusa Indonesia Johny Darmawan cenderung diabaikan oleh pemerintah. “Sekarang pemerintah harus berani, memberikan insentif ekspor yang besar sekaligus kepada seluruh industri yang potensial. Sebab, insentif ini penting untuk membuat daya saing produk kita meningkat. Kalau industri terkait tidak bisa memanfaatkan insentif itu, skema punishment harus diberikan. Kita harus paksa industri-industri kita untuk berkembang,” jelasnya.

Johny mengatakan, terkait dengan kinerja sektor CPO, Indonesia sulit untuk lepas dari tekanan dalam waktu dekat. Pasalnya, kampanye negatif penggunaan komoditas itu terus meningkat di pasar global, terutama Eropa. Di sisi lain, negara tujuan ekspor utama CPO lain, seperti India masih terus mempersulit ekspor komoditas tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Wike Dita Herlinda
Terkini