Bisnis.com, JAKARTA — Industri teknologi finansial atau tekfin dinilai memiliki posisi strategis untuk mendorong pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam operasional industri asuransi. Sinergi kedua industri dinilai akan meningkatkan efisiensi dan penghematan biaya.
Direktur Marcom Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Tassa Nugraza Barley menjelaskan, teknologi kecerdasan buatan dapat membantu perusahaan asuransi untuk memberikan produk dan layanan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan konsumen saat ini. Teknologi tersebut menurutnya dapat mendorong pelayanan yang cepat dan terjangkau.
Menurut Tassa, teknologi kecerdasan buatan dapat berperan dalam proses asesmen dan perhitungan nilai premi berdasarkan data-data calon tertanggung. Selain itu, teknologi itu pun dapat diterapkan untuk mempercepat proses klaim.
"Pelayanan ini salah satu item yang penting, bagaimana proses klaim bisa dilakukan dengan mudah. Saya kira kecerdasan buatan bisa memberikan peran dalam hal tersebut," ujar Tassa kepada Bisnis, Senin (8/7/2019).
Tassa menjelaskan, pihaknya belum mendapatkan laporan spesifik mengenai sinergi perusahaan tekfin dengan perusahaan asuransi dalam pengembangan kecerdasan buatan untuk operasional asuransi. Meskipun begitu, menurutnya, kerja sama antara kedua lini dapat memiliki potensi besar untuk digarap.
Dia menjabarkan, terdapat dua keuntungan utama yang bisa didapatkan oleh perusahaan tekfin saat bersinergi mengembangan teknologi kecerdasan buatan. Pertama, baik perusahaan tekfin maupun perusahaan asuransi akan mengeluarkan biaya yang lebih terjangkau karena tidak harus berinvestasi terlalu besar.
"Kedua, efisiensi, karena tekfin dapat lebih fokus terhadap bisnis utamanya," ujar Tassa.
Pemanfaatan kecerdasan buatan dalam industri asuransi mulai digarap secara serius oleh beberapa perusahaan asuransi.
CEO PT Asuransi Simas Insurtech Teguh Aria Djana menjelaskan, saat ini Simas Insurtech tengah mengembangkan konsep telematic insurance, yakni pemanfaatan kecerdasan buatan untuk menentukan besaran premi.
Menurut Teguh, konsep tersebut akan banyak diterapkan industri asuransi meskipun saat ini belum marak digunakan di Indonesia. Hal tersebut disebabkan penerapan kecerdasan buatan dapat menekan risiko klaim lewat kalkulasi big data.
"Untuk telematic insurance contoh sederhananya adalah faktor besaran premi ditentukan tidak hanya berdasarkan rasio klaim atau statistik secara agregat, tapi bisa berdasarkan profil calon tertanggung, misalnya gaya hidup, tingkat pengeluaran, dan lain-lain. Hal tersebut dapat menekan risiko klaim," ujar Teguh kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Pemanfaatan kecerdasan buatan pun menurut Teguh akan terus dijajaki Simas Insurtech. Banyaknya teknologi yang perlu dipelajari dan dikembangkan membuat proses penjajakan akan memerlukan waktu. Namun, hal tersebut menurut Teguh perlu dilakukan mulai saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel