Bisnis.com, JAKARTA—Upaya pelaku industri perbankan Tanah Air untuk meningkatkan porsi dana murah pada kuartal kedua tahun ini masih terlihat sulit. Deposito perbankan tumbuh lebih tinggi, membuat beban dana melonjak, dan menekan net interest margin (NIM).
Berdasarkan Laporan Uang Beredar Bank Indonesia, pertumbuhan simpanan berjangka pada Mei 2019 tercatat 8,9% (yeay-on-year/yoy), atau lebih tinggi dibandingkan dengan April 2019 yang sebesar 6,6% yoy.
Dana pihak ketiga lainnya juga tumbuh positif tinggi, tetapi tidak setinggi simpanan berjangka. Pertumbuhan tabungan pada Mei 2019 tercatat 8,3% yoy, atau lebih cepat dibandingkan dengan April 2019 yang sebesar 6,7% yoy. Sementara itu, pertumbuhan giro pada Mei 2019 tercatat 0,1% yoy, atau lebih rendah dibandingkan dengan April 2019 yang sebesar 3,4% yoy.
Jika ditelisik lebih dalam, pertumbuhan simpanan berjangka yang cukup ekspansif ini distimulasi oleh nasabah korporasi non finansial, yang pada Mei 2019 ini tumbuh 12,1% yoy, atau lebih cepat dibandingkan dengan April 2019 yang 8,7%.
Selain itu, nasabah perorangan juga mencatatkan pertumbuhan hingga 8,7% yoy, atau lebih tinggi dibandingkan dengan April 2019 yang 7,4% yoy.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan pertumbuhan kredit dalam dua kuartal tahun ini masih cukup tinggi.
Khusus pada kuartal kedua, perbankan memiliki beberapa pengeluaran operasional besar, yakni pembayaran gaji yang dibarengi dengan pembayaran tunjangan hari raya (THR).
Hal ini memojokkan pelaku industri jasa keuangan untuk mendongkrak penghimpunan simpanan berjangka, bahkan dengan special rate bagi beberapa nasabahnya.
"Dalam dua kuartal tahun ini, kondisi likuiditas masih terlihat ketat. Jadi, wajar jika ada tren peningkatan biaya dana, dan penurunan NIM," katanya, Senin (8/7/2019).
Meski demikian, Josua menyampaikan pertumbuhan dana mahal tersebut sudah akan mulai melambat lagi pada kuartal ketiga tahun ini.
Bank Indonesia (BI) merespons pengetatan likuiditas dengan memberi pelonggaran giro wajib minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps), dan mengharapkan adanya multiplier effect terhadap likuiditas hingga Rp100 triliun.
Namun, pada kuartal terakhir tahun ini peningkatan dana mahal masih mungkin terjadi seiring dengan siklus perbankan yang mengejar target-target rencana bisnisnya pada akhir tahun.
"Jadi, kalau dilihat, memang ada efek dari tren pertumbuhan likuiditas di perbankan Indonesia. Hanya saja, tahun ini sedikit lebih ketat," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Konsumer Bank Woori Saudara M. Tri Budiono membenarkan masih ketatnya persaingan penghimpunan dana pihak ketiga perbankan.
"Iya betul sekali, untuk pertumbuhan dana murah memang sedikit melambat, dan tingkat persaingan suku bunga khususnya deposito cukup ketat," katanya.
Tri menuturkan perseroan juga masih harus bertahan dengan porsi dana murah (current account savings account/CASA) di kisaran 25% hingga 27%.
Kecilnya porsi dana murah ini cukup berdampak pada peningkatan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), hingga berujung pada penurunan NIM.
Tri menuturkan, perseroan masih memiliki bantuan berupa pinjaman dari bank induk. Walau biayanya murah, tetapi dana ini tidak bisa dimasukkan sebagai komponen DPK.
Adapun, pada kuartal pertama tahun ini NIM perseroan tercatat 4,46%, atau turun 61 basis poin dari posisi periode sama tahun lalu.
Tri menyampaikan, posisi loan to deposit ratio (LDR) juga masih berada pada kisaran 130%, atau masih sama dengan posisi kuartal kedua tahun lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel