Bisnis.com, JAKARTA — Dua perusahaan asuransi global, Zurich Insurance Group AG dan Chubb Ltd. mengumumkan pembatasan penjaminan dan investasi terhadap perusahaan yang berkaitan dengan batu bara. Langkah menjauhi tenaga batu bara tersebut dinilai dapat turut diterapkan di Indonesia, tanpa membawa kerugian bagi industri asuransi.
Keputusan tersebut diambil Zurich dan Chubb sebagai langkah untuk menekan emisi karbon akibat penggunaan batu bara untuk pembangkit energi. Langkah untuk menekan dampak krisis iklim (istilah yang menggantikan perubahan iklim) tersebut diumumkan kedua perusahaan beberapa waktu lalu.
Berdasarkan keterangan resmi Zurich dan Chubb, terdapat beberapa kriteria perusahaan yang tidak akan ditempatkan investasinya, yakni perusahaan yang menghasilkan lebih dari 30 persen pendapatannya dari penambangan batu bara dan perusahaan yang menghasilkan lebih dari 20 juta ton batu bara per tahun.
Selain itu, kriteria lainnya di antaranya adalah perusahaan yang menghasilkan lebih dari 30 persen listrik dari batu bara, perusahaan yang sedang dalam proses pengembangan tambang batu bara atau infrastruktur batu bara, dan lain-lain.
Dalam keterangan resminya, Zurich menyatakan tidak akan berinvestasi dan akan menarik investasi dari perusahaan-perusahaan dengan kriteria tersebut. Proses tersebut dilakukan secara bertahap sembari memenuhi target perusahaan untuk menggunakan 100 persen energi terbarukan dalam seluruh operasi globalnya pada 2022.
“Kami melihat secara langsung bencana alam yang menimpa masyarakat. Inilah sebabnya kami mempercepat tindakan untuk mengurangi risiko krisis iklim dengan mendorong perubahan dalam cara berperilaku perusahaan dan masyarakat dan mendukung mereka yang paling terkena dampak. Ini adalah hal yang benar untuk dilakukan,” ujar CEO Zurich Insurance Group Mario Greco dalam keterangan resmi, belum lama ini.
Dilansir dari Bloomberg, pihak Zurich menyatakan bahwa kebijakan tersebut berlaku bagi mitra perusahaan eksisting maupun perusahaan lain yang potensial menjadi mitra bisnis. Saat ini, proses identifikasi dan penilaian perusahaan berdasarkan kebijakan baru tersebut sedang berlangsung.
Berbeda dengan Zurich, Chubb menyatakan tidak akan menanggung risiko dari perusahaan-perusahaan dengan kriteria di atas, juga tidak akan menempatkan investasi pada perusahaan tersebut. Kebijakan yang menjadi prioritas Chubb sejak 1 Juli 2019 tersebut akan dilaksanakan secara bertahap hingga 2022.
Dalam keterangannya, Chubb menyatakan pengecualian terhadap kebijakan untuk tidak menanggung risiko terhadap perusahaan dengan kriteria di atas masih akan dipertimbangkan. Pengecualian tersebut diberlakukan bagi perusahaan yang beroperasi di daerah tanpa sumber energi alternatif jangka pendek yang praktis dan mempertimbangkan komitmen perusahaan terkait untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara.
Adapun, dilansir dari Bloomberg, pihak Chubb belum menyampaikan hasil identifikasi daerah-daerah yang termasuk dalam pengecualian tersebut, khususnya daerah yang tidak memiliki sumber energi alternatif.
BISA DITERAPKAN
Pengamat asuransi sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko & Asuransi Hotbonar Sinaga menjelaskan, kebijakan yang dibuat Zurich dan Chubb tersebut dapat turut diterapkan di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut dapat mendorong kesadaran industri dan investor untuk memperhatikan dampak lingkungan dalam menjalankan bisnis.
Menurut Hotbonar, investasi yang ditanamkan perusahaan asuransi harus bertanggung jawab secara sosial dan pada lingkungan. Tanggung jawab sosial tersebut dapat dilakukan dengan secara bertahap menarik investasi dari instrumen yang tidak bersahabat pada lingkungan.
“Investor harus melakukan analisa risiko atas tiap instrumen investasi, tapi harus tegas mengatakan tidak pada sektor yang tidak bersahabat pada lingkungan dan tidak menerapkan prinsip investasi berbasis environmental, social, and governance [EGS],” ujar Hotbonar kepada Bisnis, Senin (15/7/2019).
Dia pun menyampaikan, tidak terdapat risiko bagi perusahaan asuransi untuk menarik investasi dari perusahaan dengan kriteria-kriteria seperti yang ditetapkan Zurich dan Chubb. Kinerja sektor pertambangan, seperti batu bara, yang bergejolak dinilai membuat perusahaan asuransi memiliki alasan untuk memindahkan investasinya ke perusahaan yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, menurut Hotbonar, diperlukan peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mempromosikan prinsip investasi yang bertanggung jawab. Hal tersebut penting untuk terus mendorong perwujudan tanggung jawab sosial dari investor.
Investasi di perusahaan yang ramah lingkungan pun dinilai Hotbonar akan memberi citra positif bagi perusahaan asuransi yang melakukannya. Oleh karena itu, dia mendorong kebijakan investasi tersebut untuk diterapkan di banyak sektor.
“Kebijakan tersebut harus diterapkan oleh investor besar selain asuransi, seperti asuransi sosial [Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan], dana pensiun, dan lain-lain,” ujar Hotbonar.
Isu krisis iklim terus menjadi sorotan seiring meningkatnya emisi karbon yang berpengaruh pada meningkatnya suhu permukaan bumi. Berdasarkan data Global Carbon Budget, emisi karbon tercatat terus meningkat sejak sebelum 1960-an.
Pada 1992, saat Earth Summit di Rio de Janeiro Brazil berlangsung, emisi karbondioksida mencapai 22,2 miliar ton per tahun. Jumlahnya meningkat saat Kyoto Protocol disetujui pada 2005 dengan emisi karbon tercatat sebanyak 29,25 miliar ton per tahun. Bahkan, saat Perjanjian Paris ditandatangani pada 2017, emisi karbon mencapai 36,15 miliar ton per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel