Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah bank tengah merestrukturisasi utang Duniatex Group, konglomerasi bisnis pertekstilan di Jawa Tengah, senilai Rp17 triliun menyusul ketidakmampuan perusahaan membayar kupon obligasi global sebesar US$11 juta.
Restrukturisasi utang Duniatex menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (23/7/2019). Berikut laporannya.
Menurut sumber Bisnis yang mengetahui rencana restrukturiasi terhadap kredit Duniatex Group, perbankan nasional yang terlibat dalam restrukturisasi kredit itu lebih dari 20 bank.
Kredit senilai Rp17 triliun itu diberikan melalui sindikasi ataupun secara bilateral ke kelompok usaha yang berdiri pada 1974 dan berkantor pusat di Karanganyar, Jawa Tengah tersebut.
“Telah ditunjuk pihak ketiga, AJ Capital Advisory untuk menangani restrukturisasi kredit tersebut. Saat ini, masih dalam proses perhitungan restrukturisasi,” ujar sumber itu, Senin (22/7).
Duniatex merupakan perusahaan tekstil yang didirikan oleh pengusaha Hartono pada 1974. Kini, Duniatex Group memiliki 18 perusahaan di bidang pertekstilan, salah satunya adalah PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT).
Dilansir dari Bloomberg, masalah ini berawal ketika DMDT menerbitkan obligasi dalam bentuk dolar Amerika Serikat sebesar US$300 juta pada Maret 2019. Surat utang global itu bertenor 5 tahun dengan kupon 8,625%. Bahkan, permintaan obligasi itu sempat mencapai US$1 miliar.
Namun, 4 bulan kemudian, tepatnya pekan lalu, lembaga pemeringkat utang S&P Global Ratings memangkas peringkat obligasi global yang dijual oleh DMDT dari BB- menjadi CCC-.
Pemangkasan peringkat oleh S&P dilakukan setelah konglomerasi perusahaan tekstil itu gagal membayar kupon pinjaman dolar AS yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019 sebesar US$11 juta.
Setelah pemangkasan peringkat Duniatex oleh S&P, berdasarkan data Bloomberg, harga terendah obligasi DMDT anjlok US$34,64 sen. Padahal sehari sebelum dinyatakan gagal bayar, obligasi ini diperdagangkan di atas US$103 sen.
Masih menurut sumber, terdapat sejumlah bank yang terlibat dalam pemberian kredit itu, a.l. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank dengan nilai terbesar yakni sekitar Rp3 triliun, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Rp2,7 triliun, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Rp1 triliun.
10 Bank Kreditur
Sementara itu, dalam riset JP Morgan yang diterbitkan kemarin, disebutkan bahwa sedikitnya ada 10 bank yang menjadi kreditur DMDT. (lihat grafis)
Nilai kredit yang disalurkan sepanjang 2018 mencapai Rp5,25 triliun dan US$362,3 juta. Sebanyak 58% di antaranya merupakan kredit sindikasi.
JP Morgan memperkirakan Duniatex Group memiliki total pinjaman jauh lebih besar dibandingkan dengan anak usahanya, DMDT.
“Sebagai contoh tim kami menemukan bahwa Duniatex memiliki kredit modal kerja senilai Rp5,4 triliun yang bergulir setiap 12 bulan. Duniatex telah menunjuk penasihat keuangan untuk kemungkinan resktrukturisasi,” demikian mengutip riset J.P Morgan yang ditulis oleh Harsh Wardhan Modi, Anurag Rajat, dan Gaurav Khandewal, Senin (22/7).
JP Morgan menyebut Bank Mandiri mengonfirmasi memiliki eksposur kredit sebesar Rp2,2 triliun kepada Duniatex Group. Jumlah tersebut turun dari sebelumnya Rp3,4 triliun per Desember 2018.
Corporate Secretary Indonesia Eximbank Emalia Tisnamisastra menuturkan bahwa saat ini manajemen masih melakukan proses konsolidasi dengan kreditur lainnya. “Kami melakukan konsolidasi mengenai langkah-langkah penyelesaian yang akan diambil.”
Sementara itu, Direktur Korporasi Bank Mandiri Royke Tumilaar mengatakan bahwa pihaknya tidak menangani restrukturisasi utang Duniatex. “Untuk Duniatex cek ke Pak Riduan ,” ujarnya.
Namun, Riduan juga tidak merespons pesan singkat Bisnis yang ingin mengonfirmasi rencana restrukturisasi utang Grup Duniatex.
Direktur Utama BRI Suprajarto juga tidak membalas pesan singkat dari Bisnis.
Selanjutnya, Bisnis mencoba menghubungi kantor pusat Duniatex di Karanganyar, Jawa Tengah. Salah satu operator kantor pusat Duniatex Ratna mengatakan bahwa direksi sedang tidak bisa menerima panggilan melalui telepon. “. Ini bisa dilihat dari risk premium yang mereka berikan terhadap obligasi korporasi naik. Harga obligasi Duniatex sendiri langsung anjlok,” ujarnya sumber dari pasar modal tersebut kepada Bisnis.
Selain S&P, Fitch Ratings juga memangkas skor kredit DMDT menjadi B- dari sebelumnya BB-.
Dalam laporannya, S&P menyebutkan bahwa kasus gagal bayar utang atas obligasi yang diterbitkan DMDT itu, merupakan dampak tidak langsung dari ketegangan perang dagang Amerika Serikat dan China.
“Ketegangan perdagangan AS–Cina yang sedang berlangsung, secara signifikan merugikan pasar tekstil Indonesia,” tulis S&P seperti dikutip dari Bloomberg.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menjelaskan, asosiasi tidak mengetahui masalah utama yang menimpa Duniatex.
Namun, katanya, dengan melihat kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang sedang tertekan, Duniatex dipastikan kesulitan dalam menjual produk karena pasar domestik dipenuhi produk impor.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi menuturkan, anggota asosiasi yang tersebar di industri tekstil melaporkan, rerata tingkat utilisasi pabrik tekstil pasca-Lebaran hanya sekitar 50%.
Pasalnya, perusahaan sulit menjual produk baik di pasar domestik maupun ekspor. “Bahkan, beberapa di antaranya telah mengurangi jumlah karyawan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel