Di hadapan pemuka agama dan Mahkamah Agung, mantan Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Destry Damayanti mengucapkan sumpah jabatan sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2019-2024.
Berbalut kebaya coklat dan kain songket merah maroon, Rabu (7/8/2019), Destry memasuki ruangan aula lantai 14 Mahkamah Agung. Dengan lantang, Destry bersumpah tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun juga. Destry juga menyebut tidak akan menerima secara langsung dan tidak langsung pemberian dalam bentuk apapun.
"Saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewajiban Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab. Saya bersumpah akan setia terhadap negara, konstitusi, dan haluan negara," terangnya.
Dukungan bagi perempuan kelahiran 16 Desember 1963 ini memang cukup kuat. Terbukti dengan turut hadir dalam acara pelantikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo beserta beserta segenap jajarannya, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, pejabat Kementerian Keuangan. Tak lupa para ekonom seperti Aviliani, dan Mary Elka Pangestu, sampai politisi Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.
Destry memang memiliki sederet prestasi gemilang pada bidang ekonomi. Buktinya, ibu tiga anak yang gemar bersepeda dan berwisata kuliner ini meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia.
Dia lantas melanjutkan studi dan menyabet gelar Master of Science dari Cornell University, New York, Amerika Serikat. Saat ini Destry juga mendampuk kepercayaan sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia periode 2019-2021.
Mengawali karier sebagai asisten peneliti di Harvard Institute for International Development (HIID) pada Januari 1989, membuat dia fokus sebagai peneliti di Institut Manajemen FEUI.
Di sela-sela acara usai pelantikan, Destry mengakui beratnya tantangan perekonomian Indonesia saat ini. Misalnya saja dari cerminan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2019 yang tumbuh melambat 5,05% (y-o-y). Selain itu, kinerja neraca dagang belum optimal terlihat dari turunnya ekspor dan impor bersamaan.
"Adanya trade war ini mempengaruhi ekspor karena pelambatan Amerika dan China berdampak pada ekspor kita ke dua negara ini," pungkasnya.
Untuk mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang melambat secara global dan domestik, Destry mengupayakan diversifikasi ekspor pada pertumbuhan pasar nonkonvensional. Oleh sebab itu, ke depan dibutuhkan kebijakan moneter yang makin akomodatif.
"Maka tantangan terdekat bagaimana BI menjaga stabilitas sektor tersebut. Khususnya nilai tukar," sambungnya.
Secara rinci dalam menghadapi tantangan itu, dia menjabarkan lima prioritas kerja sebagai BI-2.
Pertama, kebijakan moneter campuran bank sentral atau policy mix. Hal ini menurut Destry sudah mulai dilakukan BI, misalnya dengan menurunkan suku bunga acuan BI-7Days Repo Rate dan Giro Wajib Minimum (GWM).
"BI sekarang tidak hanya mengandalkan kebijakan moneter tetapi juga kebijakan makroprudensial," ungkap Destry.
Kedua, agenda untuk pendalaman sektor keuangan. Destry menilai sektor keuangan Indonesia masih dangkal. Oleh sebab itu, ketika terjadi pergolakan ekonomi global, sektor keuangan Indonesia menjadi sangat rentan.
"Maka perlu ada kerja sama BI, pemerintah, OJK dan instansi lain untuk membuat market keuangan ini lebih dalam," pungkasnya.
Ketiga, yang menjadi perhatian Destry adalah menciptakan dan memperkuat sistem pembayaran digital. Dia menilai, sistem pembayaran yang aman, efisien, dan bersahabat harus melindungi konsumen.
Keempat, adalah upaya memperkuat potensi keuangan syariah dan produk syariah lain di Indonesia sehingga perlu sosialisasi ekstra bagi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim terkait produk halal.
"Sehingga kontribusi ekonomi syariah bisa meningkat," jelas Destry.
Kelima, senada dengan upaya mix policy, Destry ingin selama bertugas sebagai BI-2 dia bisa menciptakan relasi koordinasi dan sinergi dengan lintas instansi. Dengan demikian semua upaya mempertahankan stabilitas ekonomi bisa tercapai.
Menanggapi deretan rencana kebijakan moneter tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan penurunan BI-7DRR sebesar 25 basis poin bulan lalu perlu menyesuaikan lagi dengan sentimen dovish The Fed baru-baru ini. Pelonggaran kebijakan moneter lanjutan menurut Tauhid sangat penting untuk membuat investasi lebih dinamis.
"Pelonggaran kebijakan moneter ini paling cepat dorong FDI," ujar Tauhid.
Dengan turunnya suku bunga acuan lagi maka ketika inflasi tetap terjaga pada kisaran 3,5%, perlu kepastian untuk mengucurkan kredit kepada sektor riil, sehingga cita-cita membangkitkan industri tak sia-sia.
"Maka itu sektor riil, fiskal, dan moneter, harus bekerja sama," tutur Tauhid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel