Bisnis.com, JAKARTA — Tenaga pemasar atau agen niscaya memiliki peran yang sangat vital di industri asuransi jiwa. Bukan sekadar sales atau penjual produk, tenaga pemasar ini menjadi salah satu ujung tombak dalam upaya peningkatan inklusi dan literasi jasa keuangan di Indonesia.
Dengan kata lain, para agen mengemban ‘tugas mulia’, yakni meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pengaturan dan perencanaan keuangan, serta kesehatan di masa depan. Namun, pada saat yang sama, para agen memikul tanggung jawab untuk menjaga citra industri.
Peningkatan kinerja pemasaran para agen niscaya mendorong penetrasi industri asuransi jiwa dan literasi jasa keuangan, serta mendorong taraf hidup masyarakat. Sebaliknya, kesalahan dalam kinerja mereka bakal memengaruhi citra perusahaan asuransi jiwa dan industri asuransi jiwa secara umum.
Menimbang vitalnya peran para agen, Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandi pun tak segan-segan mengingatkan para agen asuransi agar memberikan informasi yang jelas dan transparan ketika menawarkan produk kepada masyarkaat.
Para agen, sebut dia, harus mampu menjelaskan secara baik pilihan jasa keuangan, fitur dan nilai manfaat yang akan didapatkan pemegang polis.
“Jangan sekali-kali menambahkan sesuatu yang tidak sesuai dengan polis atau mengiming-imingi masyarakat tentang manfaat yang belum pasti,” ujarnya di sela-sela malam puncak Top Agen Awards (TAA) AAJI 2019, di Solo, Jumat (9/8/2019) malam.
Riswinandi juga mengingatkan bahwa penjelasan tersebut harus disampaikan dengan bahasa yang familiar dan mudah dicerna masyarakat luas. Jangan sampai, kata dia, penjelasan itu justru membingungkan konsumen.
Pasalnya, hal itu pada akhirnya akan menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan di kemudian hari. Kondisi itu lah yang bakal merusak citra perusahaan dalam jangka panjang, dan tentu saja berdampak negatif pada industri.
“Kami di OJK, banyak sekali menerima pengaduan, mengenai ketidakpuasan masyarakat terhadap produk asuransi. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman para pemegang polis terhadap produk yang mereka beli atau miliki. Beberapa di antaranya, bahkan menggunakan jasa konsultasi hukum untuk melakukan penuntutan atas kerugian yang mereka alami.”
Riswinandi juga mengingatkan kepada para tenaga pemasar agar mematuhi kode etik dan peraturan yang berlaku. Sebelum memasarkan produk, jelas dia, seorang agen mesti terdaftar di asosiasi dan memiliki sertifikan keagenan dari lembaga sertifikasi di bidang perasuransian.
Hal itu sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Peraturan OJK No.67/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi.
“Ini untuk turut memastikan, perusahaan-perusahaan asuransi memiliki agen yang handal, patuh dan berkualitas,” kata Riswinandi.
POTENSI KEAGENAN
Imbauan itu memang penting sebab potensi pengembangan pasar asuransi jiwa melalui saluran distribusi keagenan di Indonesia masih sangat besar.
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat hingga saat ini jumlah agen di industri mencapai kisaran 595.000 orang. Jumlah itu baru mencapai 0,22% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa.
Di sisi lain, jumlah tertanggung atau nasabah individual di industri asuransi jiwa baru mencapai 17,4 juta jiwa atau mencapai 6,5% dari jumlah penduduk.
“Kita bisa lihat bersama, masih banyak potensi untuk menjadi agen asuransi jiwa, dan peluang pengembangan pasar yang masih sangat luas,” ujar Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon dalam kesempatan yang sama.
Kondisi itu ditambah lagi dengan pasar industri asuransi jiwa yang masih dominan atau terpusat di Pulau Jawa. Budi mengatakan, situasi itu tak terbantahkan dengan menimbang fakta bahwa tingkat populasi dan pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi di wilayah tersebut.
Ke depan, dengan program pemerataan ekonomi yang saat ini sedang gencar dilakukan oleh pemerintah, AAJI optimistis pertumbuhan agen dan pasar asuransi jiwa di berbagai wilayah lainnya di Indonesia bisa berjalan seiring.
Apalagi, masyarakat Indonesia masih perlu ditawari produk asuransi secara langsung. “Tetap perlu human touch atau emotional selling,” ujar Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu.
Riswinandi pun mengakui bahwa pemasaran produk asuransi jiwa tidak lepas dari faktor psikologis dan kedekatan dengan konsumen. Pada posisi itu, para agen memiliki peran vital untuk menjelaskan produk dan isi polisnya secara langsung kepada konsumen.
Peran itu itu, jelasnya, bahkan tak tergantikan, kendati insurance technology atau insurtech mulai berkembang di Indonsia.
PENAMBAHAN AGEN & DIGITALISASI
Tidak mengherankan, perusahaan asuransi jiwa terus memacu jumlah tenaga pemasar. Di samping itu, asuransi jiwa terus mengembangkan layanan digital dan sejumlah strategi anyar untuk melengkapi kanal pemasaran tersebut.
PT Sun Life Financial Indonesia, misalnya, bakal meningkatkan jumlah agen, khususnya dalam upaya meningkatkan layanan berbasis syariah dengan menyasar wilayah lapis kedua dan ketiga.
“Menurutku itu belum terlalu digarap. Nah, makanya agen harus terus ditambah,” ujar Presiden Direktur PT Sun Life Financial Indonesia Elin Waty.
Selain penambahan jumlah, perusahaan asuransi jiwa lain, PT Cigna Asuransi Indonesia (Cigna Indonesia) juga memperkuat para agennya dengan aplikasi digital, yakni e-apps.
Inovasi ini pun terbukti memacu kinerja kanal distribusi yang baru dijajaki Cigna Indonesia sejak 2015 untuk melengkapi kanal distribusi telemarketing dan affinity marketing atau mitra institusi keuangan dan nonkeuangan.
Layanan digital itu membantu agen mengenali dan menganalisa kebutuhan finansial nasabah, serta memberikan rekomendasi produk asuransi yang sesuai tujuan keuangan nasabah. Nasabah dapat mengetahui ilustrasi produk yang akan mereka beli, termasuk jumlah premi, dan benefit yang akan mereka peroleh.
“Inovasi layanan aplikasi digital ini memang diluncurkan untuk mendukung pertumbuhan bisnis keagenan,” kata Director and Chief Distribution Officer Cigna Indonesia Dini Maharani.
Selain layanan itu, Dini menjelaskan pihaknya juga menugaskan 40 agen spesial atau flying agent yang bisa menjangkau berbagai wilayah dengan cepat. Para agen khusus ini ditugaskan untuk mengejar target pemasaran tertentu.
Dini mengatakan, performa pencapaian flying agent Cigna Indonesia mencapai 85%. Para agen khusus ini bahkan berkontribusi sekitar 35% dari pendapatan premi bisnis baru Cigna Indonesia dari kanal distribusi keagenan.
Dengan strategi tersebut, Dini mengatakan pihaknya optimistis mampu mencetak pertumbuhan signifikan untuk kanal distribusi keagenan pada tahun ini.
“Kami optimistis hingga akhir tahun nanti pertumbuhan keagenan mencapai 40%,” ujarnya.
Sementara itu, PT Asuransi Jiwa Taspen (Taspen Life), berupaya mencari bentuk saluran distribusi keagenan baru untuk mengakselerasi kinerjanya.
Direktur Utama Taspen Life Maryoso Sumaryono mengakui bahwa kanal pemasaran keagenan di Taspen Life berbeda dengan perusahaan lain.
Jalur keagenan ini, jelas dia, cukup signifikan mendorong komposisi pemasaran produk individual Taspen Life. Oleh karena itu, Maryoso mengatakan bahwa Taspen Life bakal terus memacu jumlah tenaga pemasar ke depan.
“Modelnya [keagenan] baru, seperti hybrid. Kantor kami siapkan, tetapi 100% mereka [mendapatkan fee] dari variable cost, tidak ada fix cost,” jelasnya.
Melihat berbagai langkah dan strategi perusahaan asuransi tersebut, memang masih patut diakui bahwa para agen masih berperan vital di industri asuransi jiwa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel