Bisnis.com, JAKARTA - Pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah masih perlu terus dipacu untuk mendukung peningkatan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB), peningkatan lapangan kerja, serta pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pembenahan di sisi pembiayaan merupakan salah satu aspek penting yang menjadi akselerator dalam memajukan UMKM yang jumlahnya sekitar 99,9% dari total unit usaha yang ada di Indonesia.
Berbagai literatur menunjukkan bahwa struktur permodalan industri UMKM di Tanah Air masih mengandalkan dana investasi pribadi.
Kebutuhan dana tambahan masih banyak mengandalkan pihak luar nonformal seperti tengkulak/rentenir yang menawarkan bunga pinjaman sangat tinggi. Selain karena kurangnya pemahaman, pelaku UMKM sendiri tak jarang kesulitan memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk mengakses kredit dari sumber finansial formal atau dianggap tidak bankable.
Keterbatasan modal yang dimiliki dan sulitnya mengakses sumber permodalan formal menjadi kendala bagi pelaku usaha untuk bisa mengembangkan bisnisnya. Bahkan UMKM yang mendapatkan pembiayaan juga masih menghadapi masalah baru dalam hal pengelolaan keuangan karena keterbatasan pengatahuan dalam pembukuan.
Demikian disampaikan dalam analisis peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM yang diterbitkan Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan.
Berdasarkan Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) per Juli 2019, kredit yang diberikan bank kepada UMKM hanya tumbuh di kisaran 8%—9% dalam 5 tahun terakhir. Padahal pada 2013 dan 2014, performa kredit UMKM perbankan sempat tumbuh di atas 15%.
Hingga akhir 2018, kredit bank ke UMKM naik 9,58% (year on year/ YoY) menjadi Rp1.032,64 triliun, di bawah kenaikan total kredit perbankan yang mencapai 12,88%. Rasio kredit UMKM terhadap total kredit perbankan juga belum beranjak dari level 19%, bahkan menyusut dari 19,71% pada akhir 2017 menjadi 19,27% akhir tahun lalu.
Dari baki debet kredit UMKM Rp1.068,41 triliun per akhir Mei 2019, mayoritas disalurkan untuk kredit ke sektor usaha menengah yang menyerap 43,86%, sedangkan usaha mikro dan kecil masing-masing sebesar 25,55% dan 30,59%.
Dari sisi jumlah rekening, hingga bulan kelima tahun ini mencapai 15,27 juta atau 30,91% dari total rekening kredit bank. Pelaku usaha mikro merupakan yang terbanyak yakni 13 juta rekening (85,14%), diikuti nasabah usaha kecil 1,94 juta rekening (12,69%) dan nasabah usaha menengah sekitar 330.000 rekening (2,17%).
Dibandingkan dengan 2013, jumlah rekening kredit UMKM tumbuh 61,4% sedangkan jumlah rekening kredit bank secara keseluruhan hanya naik 18,5% sampai akhir tahun lalu.
Peningkatan ini adalah efek dari berbagai program, termasuk program kredit usaha rakyat (KUR) subsidi yang dimulai sejak Agustus 2015.
Program ini merupakan manifestasi dari kesepakatan berbagai instansi serta program BI yang mewajibkan bank menggulirkan kredit UMKM sebesar 20% dari total kredit pada 2018.
Penyaluran KUR melibatkan 47 lembaga, mulai dari bank pelat merah, bank umum swasta, bank pembangunan daerah, perusahaan pembiayaan serta koperasi.
PENYALURAN KUR
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Merupakan penyalur kredit KUR terbesar dengan outstanding mencapai Rp46,32 triliun per Juni 2019. Bahkan BRI mengambil porsi sebesar 70% atau Rp285,73 triliun dari Rp408,47 triliun total akumulasi plafon KUR sejak Agustus 2015.
Selain lewat program KUR subsidi, BRI juga ekspansif menyalurkan kredit UMKM bahkan menjadi pemain terbesar di segmen tersebut sehingga dijuluki Bank Wong Cilik.
Direktur Utama BRI Suprajarto mengungkapkan dalam tiga tahun ke depan, BRI menargetkan segmen UMKM menyumbang 80% dari total kredit dan pembiayaan.
“Selain menaikkan porsi debitur UMKM, kami juga membuat ekosistem yang sehat bagi para pelaku usaha agar dapat naik kelas. Dua tahun terakhir, aktivitas yang kami lakukan membuat 2,15 juta debitur mikro naik kelas,” kata Suprajarto kepada Bisnis.
Porsi kredit UMKM BRI merangkak naik dalam beberapa tahun terakhir. Per Maret 2019, debitur UMKM menyumbang 76,92% terhadap portofolio atau sebesar Rp657,99 triliun dari total kredit yang disalurkan yakni Rp855,47 triliun.
Meski menjadi yang terbesar, bank beraset tertinggi di Indonesia itu tidak mau tinggal diam dan terus berinovasi untuk memudahkan nasabah pelaku UMKM dalam mengakses produk dan layanan, termasuk melalui implementasi perbankan digital.
Sejak akhir 2018, perseroan mengembangkan aplikasi BRISpot membuat proses kredit mikro lebih cepat, efisien, paperless dan digital base. Pemangkasan proses administrasi dan analisa kredit membuat pengajuan pinjaman mikro diklaim dapat cair dalam hitungan jam.
Dengan aplikasi itu, BRI menargetkan porsi kredit mikro dapat naik jadi 40% dari total portofolio pada 2022. Per Maret 2019, porsi kredit mikro BRI sebesar 34,9% naik dari periode yang sama tahun lalu sebesar 34,7%.
Direktur Mikro dan Kecil Bank BRI Priyastomo menyebutkan hingga akhir Juli 2019, BRI telah memberikan pembiayaan kepada lebih dari 10,5 juta nasabah UMKM. Dari jumlah tersebut, kata Priyastomo, sebanyak 1,1 juta pelaku UMKM di antaranya sukses naik kelas.
Jumlah tersebut didominasi oleh masyarakat yang mengajukan pembiayaan mikro dengan plafon pinjaman hingga Rp25 juta sebanyak 65% dan selebihnya nasabah dengan plafon di atas Rp25 juta.
BRI ingin mendorong jumlah nasabah UMKM yang naik kelas menjadi lebih dari 2 juta per akhir 2019. Perseroan juga aktif memberikan pendampingan. Setidaknya ada 3.260 pelatihan yang digelar BRI di berbagai daerah yang menjangkau hingga 318.093 UMKM binaan.
Selain itu, ada juga program BRIncubator di mana nasabah bisa mengikuti workshop dan bootcamp peningkatan kapabilitas UMKM untuk Go-Modern, Go-Digital, GoOnline, dan Go Global.
Menurut Priyastomo, BRI terus fokus dalam memberdayakan UMKM melalui pemberian ruang dan pendampingan untuk mendorong kemajuan usaha dan berdampak pada ekonomi lokal maupun nasional.
“Nantinya UMKM diharapkan terus menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di Tanah Air,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel