Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diketahui tengah meneliti potensi pelanggaran persaingan usaha pada industri teknologi finansial (financial technology/fintech) Tanah Air.
Direktur Ekonomi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M.Zulfirmansyah mengatakan bahwa penelitian tersebut sudah direstui oleh pimpinan komisi dalam rapat komisioner yang digelar Senin (26/8/2019).
“Yang kita ingin lihat dari penelitian ini adalah produk fintech peer to peer lending. Kami duga bahwa ada perilaku dari beberapa fintech yang melanggar prinsip, salah satunya dalam hal penetapan suku bunga dan beban. Kita sudah undang Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keunangan,” ujarnya Senin (26/8/2019) sore.
Informasi sementara yang diperoleh dari kedua lembaga negara tersebut, lanjutnya, tidak ada aturan yang menata soal penentuan besaran suku bunga pinjaman. Hal ini berarti pelaku usaha menetapkan sendiri besaran bunga kepada konsumen.
Berdasarkan penelusuran pihaknya, dalam hal penetapan suku bunga, pelaku usaha melalui asosiasinya melakukan negosiasi dengan pihak OJK. Akan tetapi, pengaturan ini menurut Firman tidak didasari pada sebuah aturan tertulis.
“Suku bunga in ditetapkan oleh asosiasi secara bersama-sama menggunakan acuan-acuan tertentu dan hal ini mendrive suku bunga menjadi tinggi. Kami melakukan riset kecil pada beberapa fintech, rerata suku bunganya 10 persen sebulan. Memang ada risiko-risiko yang menyebabkan mengapa sampai setinggi itu dan terus kami kaji,” tambahnya.
Dia mengatakan, jika terjadi persiangan usaha yang sehat, besaran suku bunga tidak akan seragam dan berimplikasi pada pilihan konsumen.
Menurutnya, penelitian ini penting dilakukan karena industri fintech berkembang cukup pesat. Dalam waktu dekat, lanjutnya, jumlah pelaku industri akan menjadi 277 perusahaan dengan jumlah peminjam mencapai 9 juta orang.
“Mumpung industrinya belum lama, kita lakukan penelitian sekarang,” ujarnya.
Guntur Saragih, Juru Bicara KPPU mengatakan bahwa jika hasil penelitian itu menyatakan ada dugaan pelanggaran prinsip persiangan usaha yang sehat, maka pihaknya akan menjalankan mekanisme penegakan hukum mulai dari penyelidikan hingga persidangan.
“Selain itu juga ada advokasi kebijakan kepada pemerintah jika kami melihat ada ruang-ruang regulasi dalam industri fintech yang selama ini mengganggu prinsip persiangan usaha yang sehat. Kami fokus pada penelitian ini karena salah satu prioritas komisioner adalah ekonomi digital,” pungkasnya.
Kewenangan Asosiasi
Praktisi hukum fintech Andre Rahadian mengatakan bahwa regulasi yang mengatur soal pinjaman online tersebut termuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77/POJK/2016 merupakan upaya otoritas untuk mengakomodasi industri yang baru tersebut.
“Saat itu saya juga membantu penyusunan regulasi ini. Memang ketika itu belum ada regulasi yang mengatur soal fintech. Ada dilema juga ketika itu kalau regulasi terlalu ketat, industri ini bisa mati. Pemerintah ingin beri kesempatan ke pemain untuk trial and error dengan batasan yang dilindungi pemerintah,” tuturnya.
Dengan demikian, aturan itu kemudian memberikan kewenangan kepada asosiasi dalam hal ini Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) untuk menjadi pengatur atau self regulated sebagaimana yang dilakukan oleh asoasi pada bursa dan kliring.
Karena itu, tuturnya, dalam perjalanan AFPI kemudian menguatkan regulasi dan kode etik serta sanksi kepada anggota yang terbukti melakukan pelanggaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel