Bisnis.com, JAKARTA – Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2016 menyebutkan bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai angka 29,7 persen. Sementara itu, tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia ada di angka 67,8 persen.
“Artinya dari 100 orang, yang punya produk keuangan ada sekitar 70 orang, sedangkan yang mengerti mengenai keuangan hanya sekitar 30 orang di antaranya,” ujar Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Sondang Martha di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Menurut Sondang, literasi keuangan merupakan hal yang amat penting untuk diperhatikan. Literasi yang rendah mengenai keuangan dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan di masa kini dan masa depan.
Dia mencontohkan, banyak masyarakat sudah terkena dampak dari investasi ‘bodong’. Setidaknya pada kurun 2008-2018, kerugian yang diakibatkan oleh investasi tidak terpercaya tersebut mencapai sekitar Rp88,8 triliun. Hal ini disebabkan oleh kurangnya literasi masyarakat.
Dengan tingkat literasi yang rendah, kata Sondang, seseorang bisa menerima empat akibat.
Pertama, tidak memiliki perencanaan keuangan yang baik. Tingkat literasi yang tinggi akan seimbang dengan perencanaan keuangan yang baik. Perencanaan keuangan sebisa mungkin dibuat rinci agar seseorang bisa tahu apa yang sudah dan belum dilakukan untuk kondisi keuangannya.
Kedua, tidak memiliki tujuan keuangan. Seseorang dengan tingkat literasi yang rendah cenderung tidak tahu apa yang akan dilakukan terhadap uang yang dimilikinya. Ia akan bingung untuk memilih menggunakan uangnya untuk apa dan bagaimana kondisi keuangannya di hari tua.
Ketiga, penempatan instrumen investasi yang tidak tepat. Menurut Sondang, investasi merupakan hal yang perlu dilakukan. Penempatan investasi harus sesuai dengan karakter dan perencanaan keuangan orang tersebut, tidak bisa asal pilih.
Keempat, terjebak oleh praktik investasi ‘bodong’, seperti yang sudah dia paparkan sebelumnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel