Penurunan Suku Bunga Acuan Harus Hati-Hati

Bisnis.com,03 Sep 2019, 03:03 WIB
Penulis: Lorenzo Anugrah Mahardhika
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo

Bisnis.com, JAKARTA – Rencana Bank Indonesia untuk kembali menurunkan suku bunga acuan perlu memperhatikan sejumlah hal. Bank Indonesia diusulkan untuk meningkatkan tunjangan likuiditas lain yang lebih potensial.

Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, sejauh ini kebijakan Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi seperti menurunkan suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum (GWM) sudah cukup efektif. Kendati demikian, BI juga perlu berhati-hati bila ingin kembali menurunkan suku bunga acuan.

Menurutnya, kesempatan penurunan suku bunga acuan pada sisa tahun 2019 masih cukup terbuka. Tetapi, pemerintah dinilai perlu memperhatikan dua hal. Pertama, efektivitas dari penurunan sebelumnya terhadap efektivitas di lapangan.

“Pasti ada jeda antara pemberlakuan suku bunga acuan baru dengan dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut,” tutur Enrico saat dihubungi Bisnis pada Senin (2/9/2019).

Kedua, yang perlu diperhatikan adalah kondisi neraca perekonomian Indonesia. Saat ini, Indonesia tengah mengalami defisit transaksi berjalan (current account deficit). Akibatnya, BI tidak bisa leluasa melonggarkan suku bunga acuan.

Selain itu, BI juga masih harus menunggu Bank Federal Amerika Serikat (The Fed) untuk mengeluarkan forecast per-kuartal pada pertemuan September ini. Pada pertemuan inilah The Fed disinyalir akan memaparkan rencana penurunan suku bunga acuan.

“Berdasarkan forecast tersebut, memang masih ada ruang gerak untuk menurunkan suku bunga acuan. Saya perkirakan ini akan terjadi paling cepat pada akhir 2019 atau awal tahun 2020,” ungkapnya.

Bila BI kembali menurunnkan suku bunga acuan, ia memprediksi mata uang rupiah akan tetap aman. Pasalnya, saat ini negara-negara di dunia sedang mengalami siklus penurunan suku bunga akibat pertumbuhan ekonomi yang melemah.

Jika semua negara, termasuk Amerika Serikat, melakukan hal yang serupa maka perbedaan imbal hasil yang ditimbulkan masih tetap sama. Ia juga menilai risiko outflow yang dikeluarkan dapat dikendalikan oleh BI.

“Yang tidak bisa diprediksi adalah adanya perang dagang dan krisis di emerging market lain, contohnya Argentina. Hal ini dapat mengguncang nilai mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia,” jelasnya.

Potensi GWM

Untuk kondisi perekonomian saat ini, Enrico mengatakan penunjang likuiditas lain lebih menguntungkan untuk dilakukan. Salah satunya adalah penurunan GWM yang dinilai dapat memberikan stimulus perekonomian untuk tingkatkan pertumbuhan ekonomi. Penurunan GWM juga akan mempermudah perbankan untuk berekspansi karena keringanan yg didapat.

Kendati penurunan GWM dinilai lebih menguntungkan, Enrico mengatakan hal ini belum tentu membuat kredit meningkat. Pasalnya, adanya ketidakpastian ekonomi akibat perang dagang antara China dan Amerika Serikat.

Kondisi ekonomi yang tidak stabil membuat orang-orang lebih berhati-hati dan waspada dalam melakukan transaksi. Akibatnya, kendati sudah menurunkan GWM, pertumbuhan kredit bisa saja stagnan.

“Yang perlu dilakukan untuk menunjang kredit adalah memastikan regulasi yang ada dan permintaan (kredit) sudah ditunjang dengan baik,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: M. Taufikul Basari
Terkini