Harga Minyak Terkerek, Produksi Migas Dalam Negeri Harus Digenjot

Bisnis.com,17 Sep 2019, 11:32 WIB
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Karyawan mengamati Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), di galeri Bursa Berjangka Komoditi , Jakarta, Senin (15/5)./JIBI-Endang Muchtar

Bisnis.com, JAKARTA -- Impor migas yang tertekan pada masa depan membutuhkan kontribusi pemenuhan permintaan dari produksi migas dalam negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan dalam rilis neraca perdagangan Agustus 2019, nilai impor migas pada Agustus 2019 turun 6,73% atau US$117,6 juta. Sementara itu, nilai impor nonmigas turun 8,76% atau US$1,20 miliar.

BPS merincikan nilai impor kumulatif Januari-Agustus 2019 adalah US$111,88 juta atau turun 9,89%. Pasalnya penurunan impor migas pada Agustus 2019 disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas antara lain; minyak mentah US$2,6 miliar atau 41,98%, hasil minyak US$2,56 miliar atau 22,26%, dan gas US$311,3 juta atau 15,61%.

Selain itu, penurunan volume impor migas disebabkan juga oleh turunnya volume impor hasil minyak 4,30% dan gas 8,62%. Sebaliknya, impor minyak mentah naik 3,65%.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menyatakan penurunan impor migas juga masih dipengaruhi harga minyak mentah yang menurun.

Kondisi terbakarnya pabrik Aramco yang mengakibatkan kenaikan harga minyak sampai 20% menjadi sinyal pemerintah harus lebih antisipatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Ketika harga nanti naik pemerintah harus hitung ekspor dan impor kita hanya pemerintah yang tahu persis data dan solusinya," ujar Hendri di Kantor Bappenas, Senin (16/9/2019).

Menurut Ekonom Bank Permata Josua Pardede, penurunan impor migas tak lepas dari penerapan B20. Hal ini mengingat Indonesia selama ini menerima impor migas hasil olahan.

"Dari sisi impor migas relatif turun secara dari Januari sampai Agustus hampir 28% penurunan karena selain harga minyak menyah turun, tapi pemberlakuan kebijakan B20 cukup signifikan mengurangi impor," jelas Josua kepada Bisnis.com.

Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana menyatakan, surplus tipis neraca dagang Agustus 2019 disumbang oleh besarnya tekanan impor.

Dia menilai tertekannya impor terjadi pada migas dan nonmigas, serta komponen dan golongan barang terbesar adalah bahan baku.

Meski demikian, kenaikan harga minyak sawit membantu mendorong surplus pada ekspor.

"Secara kumulatif Agustus 2019 menunjukkan sektor otomotif, besi dan baja, masih akan mencatatkan pertumbuhan ekspor yang baik sampai akhir tahun," katanya.

Wisnu memprakirakan pertumbuhan ekonomi sektor industri masih akan melambat. Oleh sebab itu, bank sentral perlu melakukan pelonggaran kebijakan moneter melalui pemangkasan suku bunga acuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Achmad Aris
Terkini