Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menilai kinerja perbankan dalam menjalankan fungsi intermediasi masih belum optimal dalam 5 tahun terakhir.
Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Piter Abdullah menyampaikan rasio intermediasi (loan to deposit ratio/LDR) perbankan secara agregat memang sudah di atas 90%, yang artinya sudah hampir maksimal.
Namun, tuturnya, di sisi lain pertumbuhan kredit selama beberapa tahun terakhir sangat rendah dan rasio total kredit perbankan terhadap PDB sangat rendah di kisaran 40%.
"LDR memang rasio yang umumnya digunakan untuk melihat fungsi intermediasi bank. Akan tetapi, untuk kasus di Indonesia harus hati-hati. Secara agregat LDR memang tinggi sekali, nyatanya itu tidak berarti intermediasi berjalan optimal," katanya kepada Bisnis, Senin (14/10/2019).
Piter menjelaskan, ada bank yang tingkat LDR sangat tinggi. Namun, bukan berarti bank tersebut optimal menyalurkan kredit, karena bisa jadi, bank tersebut tidak maksimal menyerap dana pihak ketiga (DPK) sehingga menyebabkan LDR tinggi.
"DPK-nya rendah karena bank tersebut lebih mengandalkan pendanaan dari bank induk di luar negeri. Sehingga dengan penyaluran kredit yang rendah bank ini memiliki LDR yang sangat tinggi bahkan di atas 100%," jelas Piter.
Sementara itu, sambungnya, pada kelompok bank besar, yang mana mencatat biaya dana (cost of fund) rendah, lebih memilih menempatkan dana di instrumen moneter atau surat berharga negara (SBN), dan membiarkan LDR tetap rendah dari waktu kewaktu.
Piter menyoroti, ke depan, isu likuiditas masih akan tetap menjadi menghantui industri perbankan, khususnya bagi bank kecil. Hal ini pun akan terjadi jika tidak ada terobosan kebijakan fiskal oleh Pemerintah.
Artinya, kebijakan moneter longgar tetapi tidak sepenuhnya efektif karena terhambat di kebijakan fiskal yang ketat.
"Dalam kondisi ini perbankan tidak akan banyak terbantu. Likuiditas tetap ketat, penyaluran kredit masih terbatas, dan bank-bank besar masih untung sementara bank kecil tetap terjepit," tutur Piter.
Sementara itu, apabila pelonggaran moneter diimbangi pelonggaran fiskal, di mana defisit APBN dibiarkan lebih lebar untuk memberikan stimulus fiskal dan insentif pajak, menurut Piter hal ini tentunya akan mendorong konsumsi dan investasi sehingga dampat berimbas ke pertumbuhan kredit.
Selain itu, bank-bank kecil akan mendapatkan nafas dengan longgarnya likuiditas dan berkesempatan mendapatkan keuntungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel