Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan kredit perbankan yang naik-turun dalam 5 tahun terakhir disinyalir sebagai dampak dari fokus pembangunan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang infrastruktur.
Menurut Analis Bank Woori Saudara (BWS) Rully Nova, pembangunan ekonomi 5 tahun ke terakhir yang menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur membuat ekonomi riil masyarakat tidak terasa dalam jangka waktu singkat.
Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5%, dan sulitnya industri perbankan menaikkan pertumbuhan pembiayaan hingga menembus 10%.
Sebagai catatan, dalam kurun 5 tahun terakhir pertumbuhan kredit industri perbankan bisa menembus angka 10% pada 2015 dan 2018. Namun, pertumbuhan pada 2016 dan 2017 berada di bawah 9%, dan secara year-to-date (ytd) penyaluran pembiayaan perbankan hingga Juli 2019 baru tumbuh 2,98%.
“Memang betul dari pertumbuhan ekonomi dilihat dari sektor infrastruktur menyumbang pertumbuhan cukup signifikan. Tapi, kalau dilihat sektor signifikan yang porsinya terbesar kan manufaktur, yang justru melambat trennya di periode pertama pemerintahan Jokowi,” kata Rully kepada Bisnis, Senin (14/10/2019).
Pertumbuhan pembiayaan industri perbankan sepanjang 5 tahun terakhir masih ditopang kredit modal kerja. Pada akhir 2018 kredit segmen ini tumbuh paling tinggi yakni mencapai 13% yoy menjadi Rp2.512 triliun, sementara kredit investasi dan konsumsi tumbuh masing-masing 7,88% menjadi Rp1.273 triliun dan 10,41% menjadi Rp1.474 triliun.
Pertumbuhan kredit yang cukup signifikan juga terjadi pada segmen konsumsi. Kenaikan nilai kredit konsumsi dari bank umum pada 2 tahun terakhir selalu berada di atas 10%, tepatnya 10,41% pada akhir 2018 dan 10,97% di penghujung 2017.
Rully menyebut, pertumbuhan kredit konsumsi industri perbankan sebenarnya bisa dipacu lebih kencang dari yang sudah terjadi. Akan tetapi, hal ini tidak terwujud lantaran pengeluaran belanja masyarakat yang melambat.
“Karena kan konsumsi ini sangat sensitif terhadap inflasi, meski tingkat inflasi bisa dijaga dalam level rendah, tapi ekspektasi masyarakat terhadap pendapatan ke depan semakin rendah. Jadi itu menyebabkan kredit konsumer maupun pengeluaran belanja masyarakat juga cenderung naik turun,” ujarnya.
Pandangan lain diberikan Rully terhadap fakta bahwa sektor manufaktur masih menjadi tujuan utama pembiayaan perbankan di periode pertama pemerintahan Jokowi.
Menurutnya, perlambatan pertumbuhan industri manufaktur membuat penyaluran kredit ke sektor ini tidak bisa maksimal dilakukan. Pertumbuhan kredit ke sektor manufaktur yang mencapai 15,06% pada 2015 silam disebutnya terjadi karena masyarakat dan pelaku usaha masih dalam euforia menyambut harapan dari pemerintahan baru.
“Di situ ada efek euforia kalau sempet naik di 2015, karena ada ekspektasi cukup tinggi dari pemerintahan Jokowi. Begitu melewati keseimbangan baru, pertumbuhan justru di tahun-tahun berikutnya melambat,” tuturnya.
Sebagai catatan, penyaluran kredit industri perbankan ke manufaktur sempat tumbuh hingga 15,06% pada 2015. Akan tetapi, setahun setelahnya penyaluran pembiayaan sektor ini melumat hingga hanya mampu tumbuh 2,85% yoy.
Penyaluran kredit di sektor ini tak pernah lagi mencapai dua digit, karena hingga akhir 2018 pembiayaan ke industri pengolahan tumbuh 9,09% yoy. Hingga Juli tahun ini, pembiayaan sektor manufaktur baru tumbuh 0,28% secara ytd menjadi Rp901,64 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel