Banyak Ibu Hamil Daftar BPJS Kesehatan Sebelum Lahiran, Lalu Menunggak

Bisnis.com,21 Okt 2019, 08:45 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Petugas melayani calon pasien menyelesaikan proses administrasi di RSUD Jati Padang, Jakarta, Senin (7/1/2019)./ANTARA-Aprillio Akbar

Bisnis.com, JAKARTA — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan mencatat terdapat 64,7 persen ibu hamil yang menjadi peserta aktif satu bulan menjelang persalinan. Kondisi tersebut dinilai perlu dibenahi untuk mendorong kepatuhan peserta dengan sambil menekan tingkat kematian ibu dan anak.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf menjelaskan bahwa belum lama ini pihaknya melakukan analisis terhadap perilaku peserta program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat (JKN–KIS) segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang hamil.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 64,7 persen ibu hamil baru menjadi peserta program JKN satu bulan menjelang kelahiran anaknya. Hal tersebut menjadi perhatian karena persalinan merupakan salah satu jenis layanan kesehatan yang paling banyak menyerap biaya program JKN.

“Tak hanya itu, bahkan 43,2 persen dari mereka mulai menunggak iuran sebulan setelah memperoleh manfaat pelayanan persalinan. Hal ini menunjukkan kecenderungan perilaku adverse selection yang merugikan BPJS Kesehatan,” ujar Iqbal dalam acara Ngopi Bareng JKN di Jakarta, Jumat (18/10).

Dia menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan mengusulkan beberapa langkah untuk menekan perilaku adverse selection tersebut. Pertama, asuransi sosial tersebut memberlakukan masa tunggu (waiting period) selama 6 bulan bagi ibu hamil.

Artinya, jaminan manfaat layanan persalinan baru bisa diperoleh jika seseorang sudah terdaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan selama 6 bulan. Hal tersebut dinilai bisa diterapkan mengingat tanggal persalinan relatif dapat diperkirakan dengan baik.

Alternatif kedua adalah dengan memberlakukan urun biaya untuk layanan persalinan. Menurut Iqbal, Amerika Serikat merupakan salah satu negara penyelenggara jaminan sosial yang memberlakukan kebijakan urun biaya tersebut.

Di Indonesia, kebijakan mengenai urun biaya telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Pasal 81) dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 (Pasal 9) tentang Besaran Urun Biaya. Meskipun begitu, alternatif tersebut dinilai dapat memberatkan pengeluaran peserta dan tidak memberi efek jera.

Alternatif ketiga yang diterapkan di negara lain adalah melalui pembayaran iuran untuk 12 bulan di muka setelah mendapatkan layanan persalinan.

“Selain untuk memenuhi kewajiban membayar iuran, ini dimaksudkan untuk memastikan terjaminnya pelayanan kesehatan ibu dan bayinya selama satu tahun ke depan, yang merupakan periode waktu ibu dan bayi membutuhkan pemeriksaan rutin,” ujar Iqbal.

Dia menjelaskan bahwa pihaknya hanya memiliki kapasitas untuk memberikan usulan, bukan sebagai pembuat kebijakan terkait program JKN-KIS yang dikelola BPJS Kesehatan. Ketiga usulan tersebut menurutnya dapat menekan perilaku adverse section dan membantu perbaikan kondisi BPJS Kesehatan.

Meskipun begitu, menurut Iqbal, usulan tersebut memerlukan pertimbangan lain sebelum ditetapkan. Dia menilai, kebijakan waktu tunggu sebelum persalinan jangan sampai menghalangi masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan.

“Kalau ternyata ada program JKN, angka kematian ibu dan anak meningkat, kan tidak bagus untuk program ini. Tentu pemerintah akan secara bijaksana menetapkan regulasi supaya tidak merugikan rakyat banyak,” ujar dia.

Hal tersebut menjadi perhatian mengingat tren persalinan di fasilitas kesehatan terus mencatatkan peningkatan. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tren persalinan pada 2007 sebesar 46 persen meningkat menjadi 74 persen pada 2017.

Kondisi tersebut menjadi beban karena biaya persalinan terus meningkat. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, biaya persalinan per tahun pada 2014 sebesar Rp2,41 triliun meningkat menjadi Rp4,43 triliun pada 2017.

Selain itu, Iqbal pun menilai kerap terdapat pandangan bahwa sanksi bagi peserta JKN-KIS yang menunggak iuran merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, menurut dia, peserta yang menunggak iuran karena alasan kemampuan membayar pun telah mengusik hak peserta lain untuk mendapatkan layanan kesehatan.

“Kenapa kita bicara tentang HAM sementara dia [peserta yang menunggak] sebetulnya juga melanggar hak orang lain [dengan menunggak iuran],” ujar Iqbal.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan bahwa perilaku adverse section tersebut muncul karena adanya celah dari Perpres 82/2018. Regulasi tersebut menurutnya membuka peluang bagi peserta yang menunggak iuran untuk tetap terdaftar sebagai peserta aktif.

Dia menjelaskan bahwa usulan BPJS Kesehatan untuk memberikan sanksi bagi peserta yang menunggak merupakan upaya untuk menjaga tingkat kepatuhan peserta dalam membayar iuran. Hal tersebut akan berpengaruh kelancaran pembayaran tagihan rumah sakit.

Tingkat kepatuhan iuran itu pun menurutnya akan berpengaruh terhadap layanan persalinan yang diterima peserta, sehingga upaya mendorong kepatuhan iuran perlu didukung. Hal tersebut menurutnya sejalan dengan semangat gotong royong dari asuransi sosial itu.

“BPJS Kesehatan juga harus mengabdi pada tujuan bangsa untuk menurunkan tingkat kematian ibu dan anak,” ujar Timboel kepada Bisnis, Minggu (20/10).

Meskipun begitu, Timboel menyatakan bahwa pihaknya meragukan data yang dirilis BPJS Kesehatan mengenai tingkat kepatuhan iuran peserta PBPU yang hendak bersalin. Hal tersebut karena peserta akan melakukan kontrol terlebih dahulu di masa kehamilan, sehingga keaktifan peserta diperlukan saat itu.

“Saya agak meragukan juga data itu karena biasanya ibu-ibu sudah aktif bayar, karena harus mengecek kondisi kandungan, itu kan menggunakan BPJS Kesehatan. Kalau berhutang kan tidak bisa check up,” ujar dia.

BUKAN REGULASI BARU

Adapun, Timboel menilai bahwa sanksi yang hendak diberikan pemerintah sebenarnya bukan merupakan ketentuan baru karena Perpres 86/2013 telah mengatur hal tersebut. Peserta yang menunggak pertama-tama akan diberikan surat teguran, diberikan denda, baru kemudian diberikan sanksi layanan publik.

“Sebenarnya Perpres 82 [2018] harusnya sudah berlaku, kalau tidak menjalankan itu [membayar iuran] akan mendapatkan sanksi tidak mendapatkan layanan publik. Cuma sampai sekarang itu tidak efektif, karena Perpres 86/2013 tidak diikuti oleh lembaga layanan publik lainnya,” ujar Timboel.

Dia pun menjelaskan bahwa pemerintah akan mengeluarkan instruksi presiden (inpres) untuk mengatur adanya sanksi publik bagi peserta yang melanggar. Menurut Timboel, inpres tersebut akan memperkuat penegakan hukum dari regulasi yang telah ada sebelumnya.

“Pemerintah rencananya mau mengeluarkan inpres, tapi bukan dasar hukum. Itu hanya mengkoordinasikan instansi-instansi terkait untuk mendukung BPJS Kesehatan,” ujar Timboel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: M. Taufikul Basari
Terkini