Indonesia Ikut Kolaborasi Tangani Obat Substandar dan Palsu di Forum WHO

Bisnis.com,26 Okt 2019, 21:15 WIB
Penulis: Ropesta Sitorus
Ilustrasi/ANTARA-Dewi Fajriani

Bisnis.com, JAKARTA - Penanganan obat substandar dan palsu terus menjadi perhatian serius dunia. Risiko peredaran obat ilegal, substandar, dan/atau palsu menjadi semakin meningkat dengan meluasnya perdagangan online.

Dalam keterangan resminya, Sabtu (26/10/2019), Badan POM menyatakan Indonesia turut aktif dalam membangun sistem yang meliputi upaya pencegahan, pelaporan deteksi, dan respons cepat untuk mengeradikasi peredaran obat substandard dan palsu.

Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito menyampaikan komitmen pemerintah Indonesia sangat besar ditunjukkan dengan penguatan regulasi dan Pencanangan Aksi Nasional Pemberantasan Obat Ilegal dan Penyalahgunaan Obat oleh Presiden RI, Joko Widodo pada Oktober 2017.

“Dalam kesempatan tersebut, Presiden menginstruksikan untuk tidak lagi hanya menegakkan hukuman yang rendah dari aturan yang berlaku, tetapi hukuman yang memberikan efek jera dan sanksi yang lebih keras,” katanya saat berbagi pengalaman di dalam forum kolaborasi global yang dibentuk WHO, yakni State Mechanism on Substandar and Falsified Medical Product ke-8 di Markas Besar WHO, Jenewa, Swiss.

Presiden juga mendorong perkuatan Badan POM melalui berbagai perkuatan regulasi sampai dengan Undang-Undang mengenai pengawasan obat dan makanan, yang sekarang sudah bergulir dalam pembahasan pemerintah dan DPR yang diharapkan akan segera diselesaikan oleh periode DPR yang baru.

“Memperkuat dukungan regulasi adalah upaya terpenting untuk dilakukan.”

Selain itu, Pennny menjelaskan ada 3 aspek pendekatan strategis yang dilakukan BPOM untuk mengatasi peredaran obat substandard dan palsu, yang disebut dengan Strategi Aksi Nasional, yakni dari sisi pencegahan, deteksi, dan respon.

Pertama, strategi pencegahan dilakukan melalui penerbitan peraturan tentang penerapan 2D Barcode pada Desember 2018. Prosedur sistem pelacakan ini sejalan dengan WHO MSM Policy Brief on Traceability of Health Product.

“Ini memungkinkan standar sistem pelacakan diterapkan untuk memastikan rantai pasokan produk farmasi ilegal dan dipalsukan,” ujarnya.

Selain itu, BPOM bersinergi dengan sejumlah pihak seperti asosiasi ekspedisi, asosiasi e-commerce, market places dan transportasi online terkait peraturan Pengendalian Distribusi dan Penjualan Obat dan Makanan.

Kedua, strategi deteksi dilakukan melalui sistem inspeksi dan pengawasan berbasis risiko yang terus ditingkatkan kapasitasnya. Hal ini dibuktikan dengan penilaian Benchmarking NRA WHO pada 2018 yang menilai kapasitas regulatori Badan POM berkategori matang / mature.

Tak hanya itu, BPOM juga ikut membantu membangun kapasitas otoritas pengawas obat negara-negara lain, negara-negara tetangga di perbatasan karena permasalahan obat illegal ini acap kali borderless alias lintas batas negara lewat program Kerja Sama Selatan-selatan (KSS).

Terakhir, untuk aspek respon, BPOM memiliki aplikasi sistem pelaporan yakni BPOM Mobile yang mencakup pelaporan pelacakan dan penelusuran untuk produk obat dan layanan pengaduan konsumen. Guna memperkuat sistem pelaporan dan pemantauan dalam mendeteksi obat illegal, substandar dan palsu, BPOM memodifikasi aplikasi yang ada untuk mengintegrasikan sistem pelaporan dari profesional kesehata.

Strategi respon dilakukan dengan pengawasan post-market disertai upaya penegakan hukum, melalui intensifikasi operasi penyelidikan dan penegakan hukum dengan lembaga penegak hukum lainnya.

BPOM meneken MoU dengan WHO terkait pilot project pelaporan obat substandard dan palsu melalui aplikasi smartphone pada pertemuan MSM ke-6 pada 2018 lalu. Pilot project tersebut melibatkan 127 tenaga kesehatan Rumah Sakit di 6 provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Pada 2020, aplikasi pelaporan oleh tenaga kesehatan menggunakan smartphone akan direplikasi di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.

“Dengan adanya sistem pelaporan ini, diharapkan terbangun budaya waspada dan pelaporan aktif melalui keterlibatan tenaga kesehatan dalam pengawasan obat di fasilitas pelayanan kesehatan. Masyarakat juga dapat mengetahui legalitas dan membedakan produk asli/palsu dengan memindai 2D Barcode pakai smartphone.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Andhika Anggoro Wening
Terkini